JATENGPOS.CO.ID – Mendapat nilai diatas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dambaan bagi setiap peserta didik, guru, lembaga pendidikan, bahkan semua pihak yang terlibat didalamnya. Tapi ada yang menarik, siapa yang peling cemas jika nilai dibawah KKM? Peserta didikkah? Ketika kita amati ternyata bukan peserta didik, melainkan guru mapelyang mengampunya.Apa yang biasa guru mapel lakukan terhadap masalah ini? Salahkah guru mapel? Simak sampai selesai.
KKM dibuat dan ditetapkan oleh tingkat satuan pendidikan mestinya sebagai target minimal bagi peserta didiknya dalam penguasaan materi yang dipelajari dengan dibuktikan melalui penilaian hasil belajar. Untuk mencapai target tersebut guru akan selalu berusaha dalam setiap proses Kegiatan Belajar dan Mengajar (KBM) bisa berjalan dengan baik sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sehingga guru berharappeserta didik bisa menguasai materi yang diajarkan dan hasil penilian yang dicapai bisa melampaui KKM, minimal KKM bisa tercapai.
Maka, jangan hanya guru yang memahami KKM, peserta didik juga wajib memahami apa itu KKM dan berapa nilai KKM masing-masing mata pelajaran sejak awal tahun pelajaran. Dengan demikian peserta didik sudah seharusnya berusaha mempersiapkan diri dan mengkondisikan dirinya dengan belajar dan mengikuti setiap proses KBM dengan sungguh-sungguh, sehingga dia bisa melampaui KKM dalam penilaian hasil belajarnya dan minimal bisa mencapai KKM.Kondisi tersebut merupakan kondisi idealita dalam pencapaian target KKM.
Guru dalam menjalankan perannya untuk mengantarkan anak didiknya dalam mencapai bahkan melampaui KKM tidak bisa disamakan seperti pembuat batu bata, pembuat genteng, ataupun seorang tukang kayu. Dimana tukang batu bata ataugenteng bisa mencetak tanah sesuai yang ia kehendaki, demikian halnya tukang kayu bisa membentuk bahan mentah kayu menjadi berbagai hasil meubel.
Dalam hal ini yang pegang peran penting adalah tukangnya bukan bahan bakunya. Sementara di dunia pendidikan untuk pencapaian target KKM justru peserta didiklah yang pegang peran besar. Menurut penulis untuk keberhasilan pencapaian target KKM porsi peserta didik menempati 60% – 70%, guru 25%, dan selebihnya dari yang lain. Peserta didik hendaknya sadar betul bahwa mereka sebagai fighter utama, sehingga mereka harusnya totalitas dalam meraih nilai diatas KKM.
Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi di lapangan masih banyak perserta didik yang tidak mencapaiKKM dan ini kondisi realita, banyak sekolah juga mengalami keadaan ini. Yang menjadi pertanyaan, apa yang harus dilakukan guru terhadap peserta didik yang tidak mencapai KKM? Dalam hal ini belum ada masalah yang berarti, karena aturan mainnya guru harus melakukan tindakan remidi/perbaikan terhadap peserta didik yang belum tuntas bisa dengan remidial test atau remidial teaching dilanjutkan remidial test.
Jika hasil remidi mencapai KKM maka masalah teratasi. Lalu bagaimana jika sudah dua-tiga kali diremidi hasil tetap dibawah KKM?Masalah ini akan menjadi pelik jika dihadapkan pada sistem yang terbangun di sekolah maupun pihak yang terkait pendidikan di kota setempat, atau jangan-jangan di negeri ini. Karena bisa jadi sistem tersebut bertentangan dengan nurani guru.Dimana guru diminta supaya nilai yang belum KKM di KKM-kan, ini boleh dibilang memanipulasi nilai akademis. Itu dilakukan buat perserta didik yang nilai akhlak dan kepribadiannya baik, namun banyak mapel yang belum tuntas.
Lantas haruskah semua peserta didik tuntas semua mapel? Jawabnya sudah pasti tidak harus. Jika peserta didik sering gagal mencapai KKM sehingga tidak memenuhi syarat naik kelas, disinilah rasa kemanusiaan yang sering berbicara, mendongkrak nilai. Hal tersebut beralasan bahwa tidak semua kesuksesan hidup selalu ditentukan oleh semua nilai yang diperoleh mencapai KKM.Nilai dibawah KKM bukan satu-satunya penyebab masa depan suram (madesu), makan jangan risau berlebihan. Namun jangan memudahkan dongkrak nilai yang menjadikan citra buruk pendidikan.