JATENGPOS.CO.ID – Pembelajaran sastra merupakan salah satu pembelajaran yang penting. Sastra turut memberikan kontribusi yang besar dalam usaha membina mental serta memperkaya kehidupan rohani manusia. Sastra dapat memberi pengaruh yang besar terhadap cara berpikir seseorang mengenai cara hidup diri sendiri dan suatu bangsa. Sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan, tetapi menampilkannya. Pendek kata, pembelajaran sastra merupakan satu kebutuhan dalam rangka pembentukan moral bangsa.
Rahmanto (2010: 16) mengungkapkan empat manfaat pembelajaran sastra, yaitu: (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, (4) menunjang pembentukan watak. Sebuah karya sastra dapat membangkitkan daya kreativitas serta imajinasi siswa. Rangsangan dari sebuah karya sastra mengedepankan sebuah kesadaran kreatif sekaligus kesadaran kritis di dalam diri siswa yang akan dibutuhkan oleh cabang ilmu apapun yang dikehendaki.
Kajian dan identifikasi cerita anak dapat memberi beberapa manfaat bagi siswa, tetapi ada kekhawatiran yang muncul di kalangan pendidik (guru) . Kekhawatiran ini disebabkan menurunnya minat dan daya apresiasi siswa terhadap cerita anak itu sendiri. Dalam perkembangannya, cerita anak semakin tergeser oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Padahal, di dalam cerita anak dapat ditemukan sejumlah falsafah kehidupan dan nilai-nilai positif yang sangat relevan dengan kehidupan siswa.
Mengacu pada survei awal yang telah peneliti lakukan, kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita anak siswa selama ini belum sesuai harapan. Hal ini ditandai dengan hasil belajar mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita siswa yang masih belum sesuai harapan
Konteks pembelajaran sastra yang terjadi pada umumnya sangat bersifat teoretis, monoton, dan menjenuhkan. Guru lebih banyak menekankan materi sastra (cerita anak) dari sisi pengetahuan (ingatan) semata dengan metode ceramah sebagai andalannya. Sehingga siswa-siswa tidak tertarik dengan materi cerita anak. Hal ini merupakan salah satu faktor kekurangberhasilan pembelajaran cerita anak yang terjadi pada siswa saat ini.
Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita anak yang berlangsung selama ini pun masih jauh dari harapan untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna yang mampu meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita anak siswa. Pembelajaran yang ditemui adalah pembelajaran yang masih memfokuskan pembelajaran pada penyampaian materi, sehingga pembelajaran masih terpusat pada guru. Siswa hanya sebagai objek dan bukan sebagai subjek dalam kegiatan belajar mengajar.
Kekurangberhasilan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya pembelajaran yang sering dilaksanakan guru adalah dengan metode ceramah. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki andil yang besar terhadap pembelajaran dan membuat siswa menjadi pasif. Ketidakmampuan siswa dalam memahami secara baik materi cerita anak. Guru menilai para siswa pada umumnya belum mampu menentukan unsur-unsur intrinsik cerita anak.
Masalah tersebut dapat disikapi dengan suatu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar mengajar sehingga kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita anak siswa meningkat. Diharapkan dengan peningkatan proses pembelajaran, hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita anak dapat meningkat.
Berdasarkan pengamatan guru salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah dengan Tipe Numbered Head Together (NHT). Tipe Numbered Head Together (NHT) siswa bisa berperan aktif dalam proses belajar mengajar, selain itu siswa bisa saling berpendapat untuk menentukan unsur-unsur intrinsik di dalam sebuah cerita anak. Menurut Huda, (2013:203) tujuan pembelajaran NHT adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk saling berbagi gagasan dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Implikasi dari uraian di atas perlu diterapkannya Tipe Numbered Head Together (NHT) sebagai upaya meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik cerita anak pada siswa kelas VI SDN Megulungkidul Kecamatan Pituruh.
Sastra anak bukan sekedar sastra yang dibaca oleh anak-anak, tetapi lebih dari itu. Menurut Sarumpaet (2010: 2) sastra anak adalah sastra terbaik yang mereka baca dengan karakteristik beraneka ragam, tema, dan format. Kita mengenal banyak sekali jenis sastra untuk anak seperti buku bacaan bergambar, buku cerita tentang binatang, cerita rakyat, kisah-kisah fantasi, cerita realistik, fiksi kesejarahan dan masih banyak lagi. Dilihat dari temanya karya sastra anak juga sangat beragam, tentunya senang girang susah sedih yang mengikatnya dan bersifat mendidik. Secara fisik langsung menarik perhatian yang membedakan bacaan orang dewasa dengan anak-anak adalah formatnya. Bentuknya bervariasi ada yang berbentuk persegi, persegi panjang, segitiga, bahkan bulat. Itulah sastra anak karya yang khas dunia anak, dibaca anak, serta pada dasarnya dibimbing orang tua.
Cerita anak adalah media seni, yang memiliki ciri-ciri tersendiri sesuai dengan selera penikmatnya, dunia anak-anak tidak dapat diremehkan dalam proses kreatifnya. Maka dari itu, cerita anak-anak dicipta oleh orang dewasa seolah-olah merupakan ekspresi diri anak-anak lewat idiom-idiom bahasa anak (Sugihastuti, 2013: 78). Pengarang cerita anak mau tidak mau harus menciptakan karya mereka dalam semangat bahasa anak. Tanpa pengetahuan yang memadai akan rasa bahasa anak dalam mencipkan karyanya, pengarang cerita anak-anak akan gagal.
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik simpulan cerita anak adalah sebuah cerita yang ditulis untuk anak, yang berbicara mengenai kehidupan anak dan sekitarnya yang mempengaruhi anak, dan tulisan itu hanyalah dapat dinikmati oleh anak dengan bantuan dan pengarahan orang dewasa. Pada dasarnya cerita anak merupakan cerita sederhana yang kompleks. Kesederhanaan ini ditandai oleh wacana yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak sulit, sehingga komunikatif. Cerita anak termasuk jenis sastra anak yang dikembangkan dalam bentuk prosa.
Karya sastra cerita anak, sebagaimana bentuk cerita fiksi yang lain, sering memiliki struktur yang kompleks dan biasanya dibangun dari unsur-unsur: (1) tema, (2) alur, (3) tokoh dan penokohan, (4) latar atau setting, (5) sudut pandang, (6) amanat dan dialog (Sudjiman, 1988: 34). Berikut merupakan penjelasan dari unsur-unsur intrinsik tersebut. Pertama tema, tema dapat diartikan sebagai gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988: 50).
Untuk konsumsi anak, cerita yang disuguhkan sebaiknya memiliki tema tunggal, berupa tema sosial maupun tema ketuhanan. Tema yang sesuai untuk mereka antara lain: tema moral, tema kemanusiaan dan tema binatang. Di samping itu, tema yang disajikan untuk anak sebaiknya bersifat tradisional. Tema tradisional berbicara mengenai pertentangan baik buruk, perseteruan antara kebaikan dan kejahatan. Tema-tema tradisional sangat penting karena memiliki misi pedagogik dan berperan dalam pembentukan pribadi anak untuk mencintai kebenaran dan menentang kejahatan (Musfiroh, 2008: 34). Hal senada juga disampaikan oleh Rukayah (2012: 7) tema dalam cerita anak mungkin berupa gagasan-gagasan misalnya kesetiakawanan, kehidupan keluarga, atau kemandirian.
Kedua alur, alur atau juga sering disebut dengan plot merupakan kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2011: 9). Untuk dapat disebut sebagai sebuah plot, hubungan antarperistiwa yang dikisahkan haruslah bersebab akibat, tidak hanya berurutan secara kronologis saja (Nurgiyantoro, 2007: 112). Karena kemampuan logical anak belum berkembang maksimal, maka plot yang ditampilkan dala cerita cenderung sederhana, tidak terlalu rumit. Peristiwa demi peristiwa disusun secara runtut.
Hubungan sebab-akibat dalam alur cerita anak adalah sederhana, tidak membutuhkan analisis kognitif tinggi. Jika dalam cerita orang dewasa disuguhkan sebab psikologis yang cukup rumit tentang peristiwa yang dialami tokoh, maka dalam cerita anak, sebab itu harus sederhana dan dapat dicerna dengan logika anak, seperti menangis karena terjatuh, tertipu karena tamak, dikutuk karena durhaka, dan sebagainya.
Ketiga tokoh dan penokohan, di dalam sebuah cerita fiksi membicarakan tokoh-tokoh cerita dan watak tokoh-tokoh itu, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Tokoh-tokoh tersebut memiliki watak yang menyebabkan terjadinya konflik dan konflik itulah yang kemudian menghasilkan cerita. Kekuatan konflik cerita antara lain disebabkan oleh kekuatan tokoh protagonis (pendukung alur cerita) dengan tokoh antagonis (penentang). Jika salah satu lebih kuat, maka akan terjadi penurunan tingkat konflik cerita (Waluyo, 2011: 19).
Keempat latar atau setting, menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2007: 216) latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang direncanakan. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah ada dan terjadi.
Latar dalam cerita anak sangat bervariasi. Latar tersebut berupa tempat tertentu, misalnya desa, sawah, atau hutan. Latar rumah dapat digunakan untuk menciptakan suasana risau, humor atau sedih. Latar sekolah sering muncul dalam cerita anak karena anak-anak mudah mengikutinya. Perubahan latar cerita biasanya disertai perubahan perasaan tokoh cerita, sesuai dengan perkembangan cerita (Rukayah, 2012: 7).
Kelima sudut pandang, menurut Nurgiyantoro (2007: 248) sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita. Secara garis besar, sudut pandang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu persona pertama (first person) atau gaya aku dan persona ketiga (third person) gaya diaan.
Keenam amanat, amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karyanya (Sudjiman, 1988: 57). Amanat dalam sebuah cerita mencerminkan pendangan hidup pengarang dan pandangan tentang nilai-nilai kebenaran. Amanat dalam sebuah cerita dapat bersifat implisit, dapat pula bersifat eksplisit. Amanat dapat dimunculkan melalui pertanyaan dan jawaban, nasihat pencerita yang sejenak keluar dari cerita, atau dialog antar tokoh (Musfiroh, 2008: 35).
Amanat dalam cerita fantasi anak berisi mengenai hal mana yang pantas dan harus dilakukan dan hal mana yang hendaknya tidak dilakukan. Amanat dalam cerita fantasi anak berusaha mengajarkan pembaca kepada hal-hal yang baik. Menurut Musfiroh (2008: 37) amanat yang terlalu mensarati atau membenani cerita kadang mengurangi daya pesona cerita. Anak yang diberi cerita terlalu dekat dengan permasalahannya menjadi kehilangan gairah untuk menyimak cerita. Anak memiliki kepekaan untuk mengetahui bahwa dirinya menjadi objek sindiran.
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan unsur-unsur pembangun yang dapat ditemukan di dalam teks cerita anak sama dengan unsur- unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra yang lain hanya saja unsur-unsur intrinsik dalam cerita anak memiliki karakteristik yang berbeda. Unsur-unsur intrinsik tersebut itu sendiri meliputi: (1) tema, (2) alur, (3) tokoh dan penokohan, (4) latar atau setting, (5) sudut pandang, (6) amanat dan dialog
Numbered Head Together (NHT) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik dalam model pembelajaran kooperatif yang menimbulkan kesempatan kepada siswa untuk saling berkomunikasi secara aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka. Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik.