c
Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, begitulah bunyi pasal 31 pada Undang-undang Dasar 1945. Berdasarkan pasal 31 tersebut maka setiap anak termasuk ABK ( Anak Berkebutuhan Khusus ) berhak dan berkesempatan mendapatkan pendidikan yang sama secara bersama-sama tanpa diskriminasi. Sehingga dibentuklah sekolah inklusi yang dapat menerima segala jenis peserta didik. Sekolah inklusi merupakan sekolah reguler ( biasa ) yang menerima ABK dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap jenis anak melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya. Sekolah inklusi menggabungkan layanan pendidikan khusus dan reguler dalam satu sistem persekolahaan. Jia Song, praktisi pendidikan inklusi dari Nonsang Naedong Elementary School, Korea Selatan, mengatakan pendidikan inklusi adalah metode pendidikan bagi ABK yang direkomendasikan Organsasi Kesehatan Perserikatan Bangsa-bangsa ( WHO ).
ABK membutuhkan perasaan disamakan seperti anak-anak pada umumnya agar dapat bersemangat untuk menjalani kehidupannnya. ABK pasti juga ingin berbaur dengan anak yang normal agar di kemudian hari saat mereka dewasa akan dapat terbiasa menyesuaikan diri dan lebih mudah bermasyarakat layaknya berkehidupan seperti orang pada umumnya.
Hal tersebut juga berdampak positif bagi anak normal, anak-anak akan terbiasa menerima kehadiran temannya yang berbeda. Diharapkan ABK dan anak normal dapat bersama-sama mengembangkan potensi masing-masing dan mampu hidup eksis dan harmonis dalam masyarakat. Pendidikan inklusi sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009. Peraturan tersebut menyatakan bahwa seluruh provinsi ataupun kabupaten/ kota wajib menyediakan pendidikan inklusi. Pendidik inklusi harus tersedia di tingkat SD, SMP, dan SMA. Peraturan ini menjadi bukti kuat hadirnya pendidikan inklusi di tengah masyarakat.
Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ) merupakan anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik. Berdasarkan PP No.17 Tahun 2010 Pasal 129 ayat (3) menetapkan bahwa peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang: a. Tunanetra; b. Tunarungu; c. Tunawicara; d. Tunagrahita; e. Tunadaksa; f. Tunalaras; g. Berkesulitan belajar; h. Lamban belajar; i. Autis; j. Memiliki gangguan motorik; k. Menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat aditif lain; l. Memiliki kelainan lain. Pada pendidikan dasar, kehadiran pendidikan inklusi perlu mendapat perhatian lebih. Menerima ABK di sekolah dasar terdekat merupakan mimpi indah yang dirasakan orangtua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus. Namun masih banyak sekolah yang belum mau menerima ABK dengan baik.
Sekolah inklusi yang sudah menerima ABK tidak langsung dengan mudahnya menangani anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut. Guru yang berhadapan langsung dengan ABK di kelas mengeluh dan sulit untuk mengajar satu metode yang sama dan dengan perlakukan yang sama, sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai sesuai yang diharapkan. Lingkungan pembelajaran yang ramah berarti ramah kepada anak dan guru, artinya: 1) anak dan guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar; 2) menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran; 3) mendorong partisipasi aktif anak dalam belajar; 4) guru memiliki minat untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik. Semoga sekolah inklusi yang sebenarnya dapat terwujud bukan sekadar pelabelan dan formalitas semata, sehingga sekolah inklusi dapat menjadi sekolah masa depan.
Puji Purwati, S.Pd
SD Negeri 1 Miricinde, Kecamatan Purwantoro, Kabupaten Wonogiri