Guru sebagai seseorang yang seharusnya digugu lan ditiru (dipatuhi perintahnya dan diikuti tindak-tanduknya). Hal itu tidak lagi menjadi demikian dijaman milenial sekarang ini. Kurikulum yang didengung dengungkan adalah kurikulum 13 dimana pembentukan karakter yang tertulis pada kompetensi inti yang menunjukkan perilaku jujur, disiplin, bertanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam pergaulandan keberadaannya, tidak serta merta mengubah paradigma sosok guru yang seharusnya dihormati dan diikuti perilakunya.
Semua memerlukan proses dan memerlukan waktu, apalagi pembentukan karakter ini butuh waktu yang lama sekitar 12 tahun. Hal ini sangat berbeda ketika kita belajar intensif membaca dan berhitung yang hanya dalam waktu kurang lebih 3 bulan bisa dikuasai. Pada kenyatannya orang tua lebih merasa khawatir apabila anak umur 7 tahun tidak bisa membaca dan berhitung dan orang tua lebih bangga ketika anaknya mendapat nilai 100 dari pada mendapat laporan dari wali kelas tentang anaknya yang tidak bisa mengantri atau tidak sopan terhadap temannya.
Kita seharusnya menyadari tidak semua anak memiliki profesi yang sama dan etika moral merupakan pelajaran berharga itupun sama pentingya untuk dipahami. Padahal itu akan berdampak tidak baik dikemudian hari. Apa yang didapat dari anak yang tidak bisa mengendalikan dirinya, tidak bisa bersabar, mengatur waktu, bersosialisasi, bekerjasama dengan orang lain, tidak punya rasa malu, tidak bisa belajar sebab akibat dan tidak jujur. Tentu saja akan berdampak pada citra dirinya kelak. Ketika seorang anak tidak bisa menahan ucapan yang tidak baik, dia akan mendapat hukuman sosial yaitu dikucilkan dari teman misalnya dan lebih ekstrem lagi bisa berbuntut penjara. Itu semua karena manner (sikap) tidak well-behave (berperilaku baik). Contoh kasus yang baru viral disebuah sekolah ternama di Jakarta, seorang siswa harus rela dikeluarkan dari sekolah karena mengupload video melecehkan guru dengan kata kata kasar dalam sebuah diskusi kelompok waktu pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini sangat disayangkan pihak sekolah namun semua telah terjadi, mesti siwa harus mempertanggung jawabkan kecerobohannya. Contoh kasus lain yang perlu juga diwaspadai adalah sikap santun siswa, baru- baru ini banyak bioskop memutarkan film Dilan 1991, yang menurut sebagian masyarakat menuai protes karena ada unsur mempertontonkan adegan yang tidak sesuai dengan adat ketimuran atau yang melanggar bernilai kesopanan dimana untuk jaman milenial dianggap biasa.
Mau dibawa kemana generasi kita ini? Bukan perang fisik lagi yang kita hadapi dengan bangsa lain melainkan perang mental. Lambat laun bila dibiarkan akan terasing dinegeri sendiri, tidak berprinsip dan kehilangan jati diri. Lalu apa peran kita sebagai pendidik yang merupakan ujung tombak perubahan karakter selain keluarga. Hal yang utama yang harus kita fahami adalah tidak semua anak beruntung, tidak semua orang tua faham dan tidak semua guru dapat membuka diri. Atas dasar itulah, guru harus bisa menegenali peserta didik, guru harus lebih sabar dalam menangani persoalan, lebih santun baik dalm berbicara maupun dalam berperilaku. Untuk itu guru harus bisa engage (menjalin keakraban) dengan siswa .Sehingga peserta didik merasa nyaman dan mudah untuk dibimbing dan diarahkan selama proses belajar mengajar yang pada akhirnya sikap respek, sopan dan santun akan terwujud. Untuk menjalin engagement (keakraban) dasarnya adalah attachment (kelekatan). Menurut Ainsworth (1969) attachment adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalm suatu attachment yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kesamaan wilayah, hobbi atau pengalaman, hal hal semacam itu akan mempererat attachment.
Ari Widayanti, S.Pd.
Guru Bahasa Inggris SMP IT Ittihadul Muwahidin, Pati