Pembelajaran Pada Anak Tunagrahita dengan Ketulusan

Siswa tunagrahita adalah salah satu jenis murid berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di bawah rata-rata sehingga pada umumnya mereka mengalami kekurangan dalam bidang akademik. Menurut Skala Weschler (WISC) anak tunagrahita yaitu anak yang memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Oleh karena itu, penulis sebagai pengajar pada siswa Kelas V Anak Tuna Grahita SLB BC YPASP Godangrejo Karanganyar, dalam mengajar harus bersikap dengan penuh ketulusan hati dan kasih sayang, yang diwujudkan dalam hal-hal sebagai berikut: Pertama: Kelembutan sikap. Modal utama cinta salah satunya adalah kelembutan sikap. Kelembutan akan melahirkan cinta, dan perasaan cinta akan semakin merekatkan hubungan antara guru dengan siswanya.

Kelembutan sikap bagi guru yang mengajar anak tunagrahita merupakan modal utama. Disinilah yang menjadi sumber hati menjadi lunak dan lembut. Nyatakan “aku hadir demi kamu.” Jika guru menganut filsafat ini maka, bagaimanapun karakter siswa yang dihadapi, guru mampu menerima dan menghadapinya dengan bijak. Nyatakan “akulah sahabatmu.” Apabila ada teman yang selalu setia bersama kita di kala susah atau senang, maka dialah teman sejati. Sebagai teman sejati guru harus mampu menciptakan komunikasi “pemecah es” untuk memecahkan kebekuan suasana dalam berinteraksi dengan siswa. Kedua: Mengelola Emosi. Guru harus pandai mengelola emosinya secara baik dan canggih. Jangan sampai mencampuradukan persoalan pribadi dengan masalah sekolah. Guru harus selalu tersenyum di hadapan para siswa, sehingga siswa dalam mengikuti proses pembelajaran merasa senang dan gembira. Ketiga: Hindari Prakonsepsi Negatif. Dalam menghadapi siswa yang bikin ulah dikelas, sebaiknya guru jangan mudah terbawa arus emosional yang bersifat negatif. Stempel negatif akan menyebabkan hubungan guru dan murid menjadi tersekat, tidak netral, bahkan penuh dengan prakonsepsi negatif. Untuk menghindari hal seperti itu guru harus mampu menjadi sosok yang pemaaf. Seorang guru harus memahami bahwa anak berbuat kesalahan lebih karena dorongan naluri kekanak-kanakannya ketimbang pertimbangan rasionalnya. Buatlah kondisi interasi kembali netral dengan maaf. Keempat: Hadirkan mereka dalam doa. Guru adalah orang tua kedua bagi anak. Maka, hendaklah guru berusaha berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mendoakan anak secara rahasia merupakan keniscayaan bagi guru yang kini banyak terlupakan. Guru selain sebagai pengajar dan pendidik serta yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi pendoa bagi anak didiknya. Sejalan dengan pemikiran diatas, sebenarnya ada tiga hal yang sangat dibutuhkan siswa disekolah. Pertama,lingkungan belajar yang aman dan nyaman; kedua sekolah sebagai rumah kedua; dan ketiga, komunitas teman sebaya. Lingkungan belajar yang aman dan nyaman meliputi sarana dan prasarana fisik serta suasana belajar yang enjoy learning. Belajar akan efektif jika berada dalam keadaan yang menyenangkan.

Baca juga:  Pembelajaran Keberagaman dengan Problem Posing

Guru sebagai sosok yang pantas digugu dan ditiru, penting menempuh pendekatan yang disertai dengan kelembutan terhadap anak didik. Beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru untuk mengembangkan sekolah ramah anak. Pertama, jadilah guru yang tidak lagi bertindak sebagai penguasa kelas atau mata pelajaran, tetapi bertindaklah sebagi pembimbing kelas atau mata pelajaran; kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara; ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti dengan ajakan; keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa; dan kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan pemberian motivasi terhadap anak sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi pemberian stimulus.

Sri Winarni, S.Pd
Guru SLB BC YPASP Godangrejo Karanganyar

Baca juga:  Pisang Goreng untuk Keliling dan Luas Lingkaran