Pembelajaran bahasa Jawa di SMP masih menyisakan masalah, terutama dalam penggunaan bahasa Jawa ragam krama. Siswa belum merasa enjoy dalam mengikuti pembelajaran, karena masih menganggap kalau bahasa Jawa terutama ragam krama itu sulit sehingga masih enggan menggunakannya. Saat pembelajaran bahasa Jawa siswa juga belum terbiasa berbicara ragam krama kepada gurunya, hal ini menghambat terbentuknya karakter santun kepada orang yang lebih tua menurut unggah-ungguh dalam bahasa Jawa. Strategi pembelajaran yang kurang menarik menjadikan siswa kurang termotivasi untuk trampil berbicara terutama ragam krama. Kondisi seperti itu juga terjadi di SMPN 2 Temanggung khususnya pelajaran bahasa Jawa ragam krama kelas VII pada materi pemahaman teks percakapan (pacelathon).
Kondisi tersebut memicu guru untuk menjadikan pembelajaran bahasa Jawa lebih menarik dan melibatkan siswa aktif di dalamnya. Dengan belajar aktif ini, siswa diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental akan tetapi juga melibatkan fisik. Dengan cara ini biasanya siswa akan merasakan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan (Zaini, 2008). Salah satu solusinya dengan model pembelajaran Role Play dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Jawa.
Menurut Zaini, dkk. menyatakan Role-Play adalah suatu aktivitas pembelajaran terencana yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang spesifik“ (2008: 98). Pada model belajar ini siswa dijadikan sebagai subyek dari kegiatan pembelajaran, dan mereka secara aktif harus melakukan praktik-praktik berkomunikasi dengan temannya dalam kondisi tertentu. Pembelajaran efektif akan dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri siswa (Departemen Pendidikan Nasional,2002). Langkah-langkah Role Play yaitu guru menyusun serta menyiapkan skenario yang akan ditampilkan, menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario beberapa hari sebelum kegiatan berlangsung, guru membuat kelompok yang berisikan 5 orang siswa, menjelaskan kompetensi yang hendak dicapai, memanggil siswa untuk menjalankan skenario, setiap siswa berada dikelompoknya sembari melihat peragaan kelompok lain. Setelah semua sudah selesai dilakukan, setiap peserta didik diberi lembar kerja untuk melakukan penilaian atas penampilan tiap-tiap kelompok, setiap kelompok menyampaikan kesimpulan, guru memberikan kesimpulan secara umum, dan terakhir evaluasi. Hal ini sejalan menurut Zaini dkk, (2004: 110) sebagian besar role-play cenderung dibagi pada tiga fase yang berbedayaitu perencanaan dan persiapan, interaksi, dan refleksi serta evaluasi.
Model Role Play dalam pembelajaran sangat cocok untuk melatih kemampuan berbicara dari segi lafal (pocapan), intonasi termasuk ketepatan undha-usuk basa (tingkatan dalam bahasa Jawa) terutama ragam krama yang sudah mulai ditinggalkan siswa sebagai generasi milenial. Dengan penerapan model bermain peran ini peserta didik langsung mempraktikkan percakapan menurut unggah-ungguh dalam masyarakat Jawa. Ada yang berperan sebagai orang tua, ada yang sebagai anak. Adanya penerapan ragam krama dalam kegiatan bermain peran tersebut siswa dapat membangun karakter santun dalam bertutur kata dengan orang lain terutama yang lebih tua atau dituakan. Dengan demikian siswa lebih aktif dan mampu memahami materi percakapan dan dapat menggunakan perasaan dalam berekspresi karena memang bahasa terutama bahasa Jawa menggunakan “rasa” dan juga merupakan ketrampilan yang harus sering dilatih. Pada akhirnya tujuan membangun sopan santun dalam diri generasi muda utamanya siswa di jenjang SMP baik dalam bersikap maupun bertutur kata melalui model pembelajaran bermain peran dapat
terwujud.
Windrati Widya K., S.Pd.
Guru SMPN 2 Temanggung