Pendidikan idealnya merupakan sarana humanisasi bagi anak didik. Pendidikan memberikan ruang bagi pengajaran etika moral, dan segenap aturan luhur yang membimbing anak didik mencapai humanisasi. Melalui proses itu, anak didik menjadi terbimbing, tercerahkan, sementara tabir ketidaktahuannya terbuka lebar-lebar sehingga mereka mampu mengikis bahkan meniadakan aspek-aspek yang mendorong ke arah dehumanisasi. Itulah ancangan pendidikan bangsa kita yang tidak saja menggaransikan keluaran manusia sejati, tetapi juga sosok yang kaya akan visi humanisme dalam kerangka kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Mengatasi degradasi moral anak bangsa, saat ini pemerintah dan rakyat indonesia tengah gencar mengimplementasikan pendidikan karakter di institusi pendidikan. Apakah ancangan mulia pendidikan bangsa itu saat ini sudah dapat direalisasikan? Tampaknya belum! Pendidikan kita belum mampu menjadi wahana humanisasi bagi anak didiknya. Pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam institusi pendidikan, diharapkan krisis degradasi karakter atau moralitas anak bangsa ini dapat segera teratasi.
Tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan karakter yang baik dapat dilihat dari perilaku-perilaku anak didik dengan maraknya tindakan kekerasan, pendidikan kita juga tengah dihadapkan pada fenomena degradasi moralitas anak bangsa khususnya generasi muda. Contoh paling sederhana ketika berlalu lintas, hilangnya ketaatan pada rambu-rambu atau aturan yang ada tetapi juga sudah sirnanya toleransi dan sopan santun antar sesama pengguna jalan. Fungsi bunyi klakson sepeda motor atau mobil yang semestinya menjadi tanda peringatan, berubah fungsi menjadi alat pemaksa agar orang lain menyingkir ketika “sang pembunyi” hendak lewat. Contoh lain yang tarafnya lebih akut seperti hilangnya penghormatan kepada orang yang lebih tua, budaya mencontek/menjiplak ketika ulangan atau ujian, pergaulan bebas tanpa batas, seks bebas, arisan seks (seperti yang baru marak),mengkonsumsi narkoba bahkan menjadi pecandu narkoba, menjadi kelompok geng motor yang anarkis dan masih banyak yang lain. Berita terbaru yang sedang hangat-hangatnya bahwa seorang guru yang dianiaya oleh peserta didik dengan tindakan kekerasan.
Dampak terjadinya peristiwa itu membuat segenap guru turut prihatin atas perilaku peserta didik yang tidak wajar karena bagi guru semestinya guru menjadi orang tua peserta didik di sekolah yang mana menjadi panutan bagi siswa-siswi di sekolah. Selain tindakan kekerasan terhadap guru juga tawuran antar pelajar yang membuat rusaknya beberapa fasilitas sekolah bahkan pencemaran nama baik sekolah yang dilakukan oleh peserta didik. Tindakan yang mencerminkan sikap dan perilaku kurang mencerinkan karakter baik juga dapat dilihat pada jam pelajaran misalnya, bukannya mereka tekun mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas, mereka justru memilih “nongkrong” di kantin sekolah. Hal itu tidak hanya terjadi di beberapa sekolah swasta yang kurang terkenal kualitasnya, tetapi juga di sekolah-sekolah negeri.
Memprihatinkan perilaku –perilaku yang seolah tidak mencerminkan jiwa seorang pelajar. Tidak sepantasnya seorang pelajar melakukan tindakan-tindakan selain belajar di sekolah. Pembelajaran di sekolah terdapat pembelajaran sastra. Pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya membicarakan nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan pembentukan karakter manusia.
Sastra dalam pendidikan dapat berperan mengembangkan aspek kognitif, afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadiandan mengembangkan pribadi sosial. Sastra bukan hanya berfungsi sebagai agen pendidikan, membentukpribadi keinsanan seseorang, tetapi memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat yang berperadaban.
Selain itu dengan kesusastraan melalui unsur imajinasinya mampu membimbing peserta didik pada keluasan berpikir, bertindak, berkarya sehingga seorang dapat terasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, yang dapat menghindarkan dari tindakan-tindakan destruktif, sempit dan picik. Maka dari itu sastra mampu menjadi sarana membangun karakter anak bangsa melalui pengajaran sastra di sekolah .
Rahmi Nur Azizah, S.Pd.
Guru SMA Negeri 1 Wedi Klaten