Abad ke–21 yang lebih akrab disebut dengan era melinium, kiranya menuntut seseorang untuk banyak membaca dan menulis (literasi). Kegiatan membaca dan menulis diyakini akan meningkatkan keterampilan seseorang dalam berpikir dan bertindak, oleh sebab itu himbauan untuk mengembangkan budaya literasi di sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat patut mendapat perhatian semua orang. Di lembaga sekolah hal itu ditindaklanjuti dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Budaya membaca dan menulis dalam pembelajaran sudah lama diterapkan oleh guru. Hanya saja, implementasinya dalam pembelajaran perlu disempurnakan. Penyempurnaan dimaksud berkaitan dengan unsur dalam kegiatan literasi. Selain itu, budaya literasi diintegrasikan melalui strategi dan metode mengajar, pengelolaan kelas dan kegiatan evaluasi. Dalam Kurikulum 2013, budaya literasi, sebagaimana halnya pendidikan karakter, biasanya menambah atau menyisipkan materi pelajaran yang sudah ada. Agar pembelajaran bernuansa literatif maka dalam pembelajaran diperlukan berbagai sumber dan media belajar, sumber belajar tidak hanya guru, lingkungan sekitar juga menjadi bahan/sumber belajar.
Sumber dan media belajar dapat dalam bentuk audio maupun visual. Oleh sebab itu literasi dikelompokkan kedalam literasi audio dan literasi visual. Strategi literasi mengandung makna meningkatkan kemampuan dalam memanfaatkan berbagai sumber informasi yang ada di berbagai media. Misalnya media cetak (buku, jurnal, tabloid, surat kabar, majalah). Dalam bentuk digital, strategi literasi menghendaki peserta didik dapat mengkases dan memanfaatkan media internet dan digital yang berkembang dewasa ini.
Dalam Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) saja misalnya, pendidikan karakter bangsa seringkali berubah menjadi hafalan-hafalan yang membosankan, kelas yang penuh dengan siswa yang mengantuk, dan hanya menjadi teori di atas kertas yang tidak terefleksi dalam kehidupan nyata. Hal ini ditambah pula dengan adanya komersialisasi pendidikan yang marak terjadi, kondisi fisik sekolah yang tidak layak, dan berbagai masalah lain dalam pendidikan. Hal ini menjadikan pembangunan karakter bangsa menjadi sulit tergapai.
PPKn merupakan mata pelajaran yang berperan menumbuhkan etika peserta didik sebagai warganegara muda yang meliputi pemahaman tentang penggunaan media sebagai sarana literasi secara bertanggung jawab. Untuk menumbuhkan dan mengembangkan budaya literasi pada peserta didik, sebagai guru PPKn harus memilih strategi yang tepat dalam proses pembelajaran PPKn. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti (pendidikan karakter), terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter.
Peran dan strategis pembelajaran PPKn pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 1 Kismantoro dalam menumbuhkan budaya literasi disamping mendorong siswa untuk membaca berbagai materi yang terkait dengan pelajaran PPKn, juga membentuk manusia yang literat sebagai warga bangsa dan Negara.
Dengan literasi pada pembelajaran PPKn dapat menjadikan siswa menjadi pribadi yang berwawasan luas, berpikir kritis, dan bertanggung jawab terhadap perilakunya. Memiliki kemampuan memilah dan memilih informasi yang akurat dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Banyak beredarnya hoaks dan fitnah di media sosial, salah satunya disebabkan karena masyarakat kita banyak yang belum literat, sehingga mudah terprovokasi isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat memecah belah persatuan, kesatuan, dan keutuhan sebagai sebuah bangsa. Dengan kebiasaan siswa melakukan literasi di mana pun berada baik di sekolah maupun di luar sekolah dapat membekali siswa untuk bertindak selektif dan tidak mudah terpengaruh dengan hal– hal negativ yang akan berdampak pada perilaku siswa.
WIDODO, S. Pd
Guru PPKn SMP N 1 Kismantoro
Kabupaten Wonogiri