Secara alamiah kehidupan seseorang selalu mengalami perubahan sehingga ia perlu bekal untuk dapat beradaptasi dalam situasi baru. Bekal ini berupa kemampuan dasar untuk menganalisis sudut pandang berbeda, merekognisi ketidakkonsistenan, menganalisis pilihan informasi yang beragam , dan menyusun pilihan informatif berdasarkan informasi akurat. Tentu saja bekal ini terkait dengan kemampuan berpikir kritis karena tujuan berpikir kritis adalah memutuskan apa yang diyakini atau dikerjakan. Dengan memfasilitasi seseorang untuk terbiasa berpikir kritis dapat mengurangi pemikiran bias, berubah-ubah, parsial, tidak informatif, atau yang merupakan prasangka.
Sebenarnya , kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat diajarkan dan dilatihkan pada seluruh tingkat pendidikan. Namun fakta di lapangan menunjukkan masih sedikit guru di Sekolah Dasar dalam memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis matematika. Hal ini serupa dengan temuan Elder dan Paul (Kingston,2005) mengenai sedikitnya siswa SD yang diajarkan bagaimana menganaisis. Demikian juga yang terjadi di SDN I Tambakrejo .Minimnya pembelajaran analisis ini mengakibatkan siswa SDN I Tambakrejo kekurangan model sebagai penguat untuk mengerjakan tugas menganalisis sesuatu yang bersifat saintifik, historis, literasi, atau matematis .
Dengan mengaplikasikan kemampuan berpikir kritis pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dapat memberikan dasar yang kuat untuk berpikir kritis bagi siswa. Selain itu mereka juga dapat segera menerapkan kemampuan berpikir kritis yang telah dipelajari dalam situasi baru pada kehidupannya.
Pendidikan multikultural didefinisikan Banks &Banks (1995) sebagai studi yang dirancang untuk meningkatkan kesamaan tujuan, konten, konsep, teori, prinsip, dan paradigma siswa dalam pembelajaran. Paradgma ini berupa sejarah, sosial, tingkat laku, ilmu pengetahuan.
Merujuk pada definisi di atas, multikultural matematika dapat dinyatakan sebagai situasi matematika yang mengapresiasikan ide-ide pada masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Situasi ini disusun dan diintegrasikan pula dengan materi matematika dan ragam budaya pada masing – masing lingkungan belajar.
Melalui pembelajaran dengan pendekatan multikultural , guru di dorong untuk menggunakan situasi multikultural. Hal ini dapat dilakukan dengan memadukan seni, olahraga, sastra, literatur, desain dan sebagainya dengan materi matematika. Contoh situasi pembelajaran matematika dengan pendekatan multikutural adalah perayaan seperti idul fitri, idul adha, natal dan sebagainya sebagai sumber koneksi matematika yang kaya akan konsep berhitung dan pengukuran. Peristiwa seperti musim panas, musim dingin, olimpiade, dan pemilu merupakan contoh situasi pembelajaran matematika untuk menfasilitasi pembelajaran mengenai waktu, ordinat, dan grafik. Desain konsep – konsep geometri, topeng – topeng Afrika dapat digunakan untuk membahas simetri, garis. Cerita rakyat dapat dipadukan untuk memperlihatkan logika atau strategi-strategi.
Kerangka dasar penerapan pendekatan multikultural dalam pembelajaran matematika yang diadopsi dari Davidman dan Davidman (1994) yaitu a) menghadirkan konsep matematika yang akurat sehingga tidak tersesat dalam proses pembelajaran. b) menggunakan hasil refleksi pembelajaran dan assessment yang bebas bias. c) menegakkan kesamaan dalam pendidikan. d ) mengembangkan dan memberi wewenang kepada semua masyarakat belajar. e ) mempromosikan keragaman budaya dalam masyarakat atau keharmonisan antarkelompok dalam kelas. f ) membantu untuk menumbuhkan pengetahuan siswa mengenai keragaman budaya termasuk budayanya sendiri. g ) menfasilitasi minat dan kemampuan siswa untuk melihat dan berpikir berdasarkan perspektif multikultural. h ) membantu memeriksa ketidaktepatan.
Pembelajaran matematika multikultural dapat memberi kesempatan untuk memaknai studi matematika, memperlihatkan keakuratan matematika , dan membuat siswa lebih termotivasi dan bekerja sama dalam mempelajari matematika sehingga hasil belajar siswa meningkat.
Dewi Ekosari,S.Pd.
Guru SDN I Tambakrejo
Patebon Kendal