JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Disfungsi ereksi dapat diartikan secara harafiah sebagai gangguan ereksi. Pengertian ereksi adalah kemampuan dari alat kelamin pria untuk membesar dan mengeras.
Secara medis, disfungsi ereksi didefinisikan sebagai ketidakmampuan mencapai dan mempertahankan ereksi untuk melakukan hubungan seksual yang baik dalam kurun waktu tiga bulan.
Penyebab terjadinya disfungsi ereksi dibagi menjadi dua bagian besar, yakni organik dan psikogenik. Organik artinya disfungsi ereksi yang disebabkan oleh gangguan organ dalam tubuh. Misalnya, gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, gangguan hormonal, adanya perlukaan pada jaringan penis, efek samping operasi, efek samping pengobatan penyakit lain.
Hal ini disebabkan oleh pola hidup yang salah seperti merokok, kurang olahraga, dan obesitas atau kegemukan. Penyebab kedua yaitu, psikogenik artinya penyebab disfungsi ereksi berasal dari pikiran, stres, dan juga tekanan kejiwaan dalam diri penderita tersebut.
“Saat ini sedang marak tentang virus covid-19. Bagi penyintas covid-19, salah satu efeknya dapat terjadi disfungsi ereksi setelah dinyatakan negatif covid-19. Sebagai salah satu penyebabnya adalah virus ini akan merusak pembuluh darah, termasuk pembuluh darah yang ke organ penis, sehingga ereksi terganggu, selain gangguan oksigenasi jaringan sebagai akibat infeksi virus ini pada paru- paru,” ujar dr. Andrian, Sp.And, selaku dokter spesialis Andrologi di SMC RS Telogorejo Semarang.
Lanjutnya, bagi orang yang tidak terinfeksipun juga dapat mengalami gangguan ereksi jika memiliki rasa cemas yang berlebih, terutama saat pandemi ini, cemas tertular, cemas karena ekonomi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Hal ini disebabkan karena adanya adanya gangguan hormonal di sistem saraf pusat.
“Namun begitu, diperlukan penelitian lebih lanjut lagi terkait resiko disfungsi ereksi bagi pria terinfeksi covid-19 tersebut. Maka sebaiknya untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, karena pencegahan itu lebih baik” imbuh dr. Andrian.
Diagnosis gangguan ereksi ditegakkan berdasarkan wawancara, dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang seperti USG dan pemeriksaan darah. Pengobatannya, pada lini pertama dapat diberikan obat minum dengan pemberian tambahan hormon testosteron atau menggunakan alat khusus.
“Selain itu, bisa dilakukan dengan terapi alternatif yakni penggunaan modalitas gelombang kejut pada penis dengan menggunakan alat Li-ESWT, bertujuan untuk merangsang pembentukan pembuluh darah baru. Jenis terapi lain misalnya latihan otot dasar panggul dan akupuntur untuk membantu meringankan gejala yang muncul,” terang dr Andrian.
Dokter juga perlu melihat penyakit penyertanya. Misal pasien dengan penyakit jantung yang berat, tentu tidak akan dipaksakan menjadi skala 4. Dalam hal ini pendapat ahli jantung dan ahli rehabilitasi medik mutlak diperlukan untuk menilai dan memperbaiki fungsi jantung,serta menilai kebugaran fisik untuk aktivitas yang optimal pada kondisi tersebut.
Bagi pasien dengan penyakit penyerta seperti kencing manis, tekanan darah tinggi, gangguan ginjal, pasien pasca strok, pasca serangan jantung, pasca operasi prostat, dan mengeluhkan gangguan yang mereka alami ini, maka sebaiknya segera disampaikan ke dokter yang merawat.
“Jika memiliki keluhan jangan malu menyampaikan hal tersebut pada dokter, karena semakin awal dilakukan diagnosa, dan ditangani maka hasil terapi akan semakin baik,” pungkas dr.Andrian.
Diharapkan pengetahuan tentang disfungsi ereksi meningkatkan mawas diri dan kemauan untuk memeriksakan diri. Jangan malu untuk konsultasi. Semua yang pasien ceritakan kepada dokter adalah rahasia medis yang tidak mungkin dibocorkan. (ucl/muz)