JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Laut China Selatan atau South China Sea merupakan perairan yang dikelilingi oleh banyak negara di Asia Tenggara. Akhir – akhir ini, Laut China Selatan sering kali menjadi headline berita konflik antar negara dalam ruang regional. Hal tersebut tidak bisa disalahkan, karena Laut China Selatan ini adalah wilayah perairan yang sangat penting secara geostrategis maupun ekonomi. Sebanyak kurang lebih 30% perdagangan dunia menggunakan rute Samudra Hindia menuju Samudra Pasifik pastinya melalui Laut China Selatan ini, dan kekayaan sumber daya alam dalam bentuk migas dan perikanan membuktikan seberapa berharganya perairan ini. Dengan kata lain, negara yang berhasil untuk mengklaim bagian dari wilayah Laut China Selatan ini akan memiliki dorongan dalam pertumbuhan perekonomian.
Secara geografis posisi Indonesia berbatasan langsung dengan Laut China Selatan menjadikan Indonesia terlibat dalam pusaran konflik Laut China Selatan. Menurut kebijakan regulasi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah sesuai dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) sehingga Indonesia berhak untuk mengklaim sebagian kecil kawasan Laut China Selatan dikarenakan radius 200 mil ZEE yang terhitung dari garis pantai Pulau Natuna.
Tetapi garis yang tergambarkan oleh ZEE Pulau Natuna ini berbenturan dengan klaim Nine Dash Line oleh China yang menyatakan 90% wilayah dari Laut China Selatan sebagai kepemilikannya, hal ini didasari oleh pernyataan pemerintahan China yang mengatakan bahwa Laut China Selatan pada beribu – ribu tahun yang lalu merupakan tempat memancing nenek moyangnya. Hal ini mengakibatkan penolakan dari berbagai negara-negara di ASEAN seperti Brunei, Malaysia, Vietnam, Filipina, serta Indonesia menolak dengan tegas klaim sepihak China ini dan lebih mengedepankan pembagian Laut China Selatan seperti yang telah diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982.
China sendiri menolak keputusan dari UNCLOS 1982 dan lebih setuju kepada klaim nine dash line yang berdasarkan sejarah atau historis negaranya. Klaim sepihak China yang tidak berdasar inilah yang kemudian menjadikan konflik yang berlarut-larut sejak tahun 1970-an dan belum menemui titik terang sampai saat ini.
Dalam permasalahan yang terjadi di Laut China Selatan, Indonesia lebih memilih jalur penyelesaian melalui Multi-Track Diplomasi yang sesuai dengan kebijakan luar negeri Indonesia bebas aktif dengan berkontribusi sebagai penengah atau pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan perseteruan tersebut agar tidak terlalu berlarut-larut dan tidak membuat suasana menjadi lebih panas. Tentu Indonesia dalam menyelesaikan perseteruan tersebut harus melakukan pendekatan yang tidak membuat keadaan semakin gaduh atau bahkan memprovokasi China, karena nyatanya China berperan penting dalam perekonomian negara-negara ASEAN termasuk bagi Indonesia.
Laut China Selatan juga merupakan pilar penting dalam jalur perdagangan Indonesia karena sekitar lebih dari 5 triliun US dollar atau sekitar sepertiga perdagangan maritim global melewati jalur ini setiap tahunnya. Indonesia juga menghindari kemungkinan terjadinya eskalasi konflik yang memungkinkan terjadinya perang di wilayah Laut China Selatan karena posisi Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara yang berkonflik sehingga tidak menutup kemungkinan Indonesia akan terkena dampak tersebut dan akan menghadapi ancaman militer serius dan jika kemungkinan terjadinya perang ini juga berpotensi menghasilkan pengungsi dari wilayah perang mengungsi ke Indonesia.
Selain itu ancaman lain datang dari kehadiran pakta pertahanan AUKUS yang memungkinkan Laut Indonesia dijadikan sebagai “ground” untuk kepentingan mereka yang mengakibatkan adanya potensi perang yang akan terjadi. Adanya potensi perang di kawasan perairan ini juga dikhawatirkan merusak biota laut dan membunuh ikan-ikan di kawasan Natuna Utara yang juga berimbas terganggunya potensi pariwisata bahari yang ada di Indonesia. AUKUS merupakan pakta kerjasama antara Australia, Britania Raya (Inggris) dan Amerika Serikat yang telah diumumkan pada 15 September 2021. Pakta kerjasama ini berisikan bahwa USA dan Inggris akan memberikan bantuan kepada Australia berupa teknologi dan teknisinya untuk membuat kapal selam bertenaga nuklir.
AUKUS disebut-sebut merupakan upaya Australia untuk menjaga kestabilan keamanan dan sebagai bentuk dari komitmen Australia untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam membentuk keamanan kawasan serta meningkatkan kestabilan yang ada dalam kawasan Indo-Pasifik tertuang dalam Defence Strategic Update 2020. Beberapa ahli menyebutkan bahwa keberadaan AUKUS ini memiliki tujuan untuk menekan pengaruh Cina di kawasan Indo-Pasifik, khususnya dalam masalah sengketa Laut China Selatan. Perjanjian AUKUS menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian negara di wilayah Indo-Pasifik, terutama Indonesia yang berbagi perbatasan maritim dengan Australia. Indonesia memiliki alasan yang logis untuk kemudian khawatir terhadap perjanjian kapal selam tenaga nuklir ini.
Hal ini disebabkan oleh kemungkinan Australia untuk mengubah geopolitical landscape wilayah Indo-Pasifik, di mana perjanjian ini juga memiliki peluang untuk memicu nuclear arm race. Terkait hal ini, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, memberikan pernyataan bahwa “Indonesia sangat prihatin atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan”. Dalam pakta ini, Australia tidak hanya mendapatkan kapal selam bertenaga nuklir, tetapi juga peluru kendali balistik, peluru kendali anti kapal (LRASM), dan pengembangan teknologi kuantum dan Kecerdasan Buatan (AI).
Alasan lain yang kemudian membuat Indonesia berhati-hati dalam memberikan respons adalah kurangnya regional consultation, pengamanan tepat, confidence building, dan transparansi dalam perjanjian AUKUS. Kurangnya transparansi dari perjanjian AUKUS ini kemudian melahirkan ambiguitas, terutama atas alasan dan tujuan dari terjalinnya pakta ini. Hal ini menempatkan Indonesia dalam posisi dilemma, disatu sisi Indonesia harus mewaspadai pergerakan AUKUS yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia, namun disisi lain Indonesia juga harus mempertimbangkan untuk bersekutu dengan AUKUS untuk melawan pengaruh China di Laut China Selatan.
Sebagai negara yang memiliki prinsip bebas dan aktif, Indonesia memiliki kerjasama yang intens dengan banyak negara, di antaranya dengan Cina dan Australia dalam berbagai bidang tertentu. Untuk itu, salah satu tindakan yang dapat dilakukan Indonesia adalah melakukan dialog mengenai ketransparanan Australia dalam menempatkan kapal selamnya agar tidak menempatkan Indonesia dalam posisi yang merugikan.
Dialog ini bertujuan untuk membangun common security sebagai upaya untuk menghilangkan kecurigaan atas tindakan pihak lain dan membangun kepercayaan antar pihak sehingga dapat mencegah konflik bersenjata. Hal ini dapat tercapai jika kedua negara bersikap saling transparan dan tidak agresif terhadap kebijakan keamanan satu sama lain. Jika hal ini dapat dilaksanakan, maka Indonesia dapat menjadi pemain sentral dalam menciptakan pertemuan antara Indonesia, Cina, dan Australia dan mencegah potensi eskalasi konflik.
Namun jika hal ini gagal untuk dilaksanakan, satu-satunya hal yang dapat dilakukan Indonesia adalah dengan cara meningkatkan sumber daya dan kapabilitas negara dalam sektor yang relevan dengan isu ini agar siap untuk menghadapi konflik terbuka yang tidak terhindarkan. (*)
