Matematika adalah cermin peradaban manusia. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sejarah matematika adalah sejarah peradaban manusia. Para ahli matematika dapat berbangga, karena pengetahuan yang mereka ciptakan (matematika), lebih dari pengetahuan yang lain, baik dari segi eksaknya, maupun dari segi kegunaannya (mathemathics is the queen of science). Siapapun yang belajar matematika harus berada dalam kondisi yang nyaman dan membahagiakan dan guru harus senantiasa bisa memfasilitasi siapapun yang belajar matematika.
Kurikulum sekolah di Indonesia, memang menuntut siapapun siswanya, ketika belajar di SD, SMP, dan SMA harus mempelajari matematika, meskipun beberapa siswa secara fitrah bukan termasuk golongan kelompok orang yang cerdas matematika, tetap harus belajar matematika.
Paradigma kecerdasan dicetuskan Howard Gardner adalah kecerdasan jamak (multiple intelligences). Terdapat empat kunci kecerdasan jamak, yaitu: 1) Setiap orang mempunyai 8 kecerdasan atau lebih; 2) Pada umumnya orang dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat penguasaan yang memadai; 3) Kecerdasan-kecerdasan umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang kompleks, tidak berdiri sendiri dan 4) Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori. Adapun, 8 kecerdasan jamak tersebut adalah: kecerdasan linguistik, matematis, visual-spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Kecerdasan jamak menjadi modal dalam pembelajaran. Kecerdasan yang dimiliki setiap individu mempengaruhi gaya belajar seseorang. Artinya apabila kita mengetahui kecenderungan kecerdasan seseorang dari kecerdasan jamaknya, maka kita akan mengetahui gaya belajar orang tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gardner, gaya belajar siswa tercermin dari kecenderungan kecerdasan yang dimiliki oleh siswa tersebut.
Sebagai contoh dalam satu kelas ada 4 kelompok siswa sedang belajar matematika: (1) kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan linguistik; (2) kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan matematik; (3) kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan musik; dan (4) kelompok siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan kinestetik.
Dua model pembelajaran yang digunakan guru dalam mengajar matematika (Materi Keliling dan Luas bangun Persegi).
Pertama, guru mengajar 4 kelompok siswa tersebut dalam satu ruang kelas. Guru menjelaskan secara umum konsep keliling dan luas bangun persegi. Rumus keliling persegi = 4 x sisi, sedangkan luas persegi = sisi x sisi. Kemudian diberi contoh soal, siswa mengerjakan latihan soal kemudian dikumpulkan, beberapa siswa ditunjuk untuk mengerjakan di papan tulis. Menjelang akhir pertemuan, guru memberikan pekerjaan rumah.
Kedua, guru melaksanakan pembelajaran di ruang kelas. Ada 4 kelompok siswa. guru menyuruh siswa membaca (memahami) materi keliling dan luas bangun persegi, kemudian memberikan permasalahan dan siawa diberi kebebasan dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Keputusan dari 4 kelompok tersebut yakni: Kelompok pertama siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan linguistik memilih diskusi di dalam ruang kelas berpedoman buku teks. Kelompok kedua siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan matematika melakukan pembahasan di dalam kelas, terlihat lebih serius dan cepat dibanding kelompok linguistik. Kelompok ketiga siswa yang memiliki kecenderungan kecerdasan musik memilih mengerjakan di luar kelas. Kelompok keempat siswa yang memiliki kecenderungan kinestetik memutuskan untuk menyelesaikan di halaman sekolah, dengan menggunakan tali rafia, mereka mengukur secara langsung keliling dan luas lapangan voli.
Dengan demikian, penulis yakin siapapun yang belajar matematika akan merasakan kebahagiaan. Mereka tidak lagi perlu ada ketakutan ketika masuk kelas matematika. Karena dalam pembelajarannya, dilaksanakan dengan penuh keceriaan yang dilandasi oleh gaya belajar individu masing-masing. Yang jelas, belajar matematika itu asyik.
SARTINAH, S.Pd
Guru SMAN 1 Temanggung