Sering kali kita jumpai seorang anak tuna grahita sedang yang suka melakukan aktivitas atau perilaku yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua, anak yang suka melempar barang, menjatuhkan diri dilantai, suka mendorong teman dan suka teriak – teriak yang tidak jelas. Perilaku ini dilakukan setiap hari baik disekolah maupun dirumah sehingga memmbuat orang tua selalu mengeluh kepada guru bagaimana caranya agar perilaku buruk ini hilang orang tua juga merasa jenuh dan binggung udah dua tahun sekolah perilaku buruk belum berubah juga, bahkan orang tua sudah mengadakan pendekatan secara halus ataupun kasar bahkan diiming-imingi sesuatu yang menarik, fenomena ini terjadi dikelas 2 C1 SLB PRI Pekalongan.
Perilaku ini sebenarnya sangat identik dengan anak tunagrahita sedang yang ketidakmampuan dalam perilaku adaptif dan tidak sesuai dengan beberapa tahap perkembangan emosi anak juga karena keterbatasan aktivitas yang bisa dilakukannya, maka pilihan anak tunagrahita untuk berkegiatan hanya sedikit. Akibatnya anak dapat mengembangkan perilaku yang pasif. Bahwa tunagrahita mengacu pada fungsi intelek umum yang nyata berada dibawah rata-rata bersamaan dengan kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung dalam masa perkembangan (Krik & Gallagher 1986).
Dengan fenomena yang terjadi seorang pendidik anak berkebutuhan khusus tidak terlalu mudah harus mempunyai kesabaran yang sangat tinggi,ketelatenan,keuletan,kasih sayang,penuh perhatian yang lebih,oleh karena itu di sekolah guru harus dapat menjadikan dirinya sebagai “orang tua kedua” bagi peserta didik dan di masyarakat sebagai figur panutan “digugu dan ditiru”. Realitanya, menurut Uzer Usman (1997) masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat dilingkungan karena dari seorang guru diharapkan masyarakat dapat memperoleh pengetahuan. Ini berarti bahwa guru memiliki kewajiban untuk mencerdaskan masyarakat dan bangsa menuju pembentukkan manusia seutuhnya .
Selain itu juga guru sebagai program layanan bimbingan dan konseling, disarankan oleh Djumhur dan Moh.Surya (1975) untuk berperan sebagai berikut : 1) Guru sebagai tokoh kunci dalam bimbingan 2) Memahami siswa sebagai individu 3) Melakukan perbaikan tingkah laku siswa 4) Mengadakan pertemuan “dari hati ke hati” dengan siswa 5) Mengadakan pertemuan dengan orang tua murid.
Dengan keadaan siswa yang ada di kelas saya memiliki tuntutan untuk mengubah siswa yang memiliki kebiasaan buruk pada awal pembelajaran semester II guru sebelum pembelajaran dimulai guru mengadakan pertemuan “dari hati ke hati” dengan siswa menggunakan “belaian” setiap siswa yang masuk kelas guru membelai punggung siswa dengan senyuman tanpa sadar siswa duduk dengan tenang, pada akhir pembelajaran guru mengajak siswa berdoa bersama untuk pulang, siswa satu persatu keluar kelas siswa yang biasa keluar kelas membuang atau melempar tas, helm serta menjatuhkan diri kelantai saat itu juga siswa dengan senyuman melangkahkan kaki menuju ke ibundanya. Metode belaian saya lakukan hanya dua minggu setelah itu guru hanya memberi senyum kepada siswa tetapi perilaku buruk yang dilakukan siswa dengan sendirinya hilang baik dirumah maupun disekolah, perubahan ini terjadi pada siswa Arva sehingga membuat orang tua bangga dan merasa senang dengan perubahan perilaku anaknya.
Berdasarkan penjelasan diatas maka disimpulkan bahwa dalam mengajar guru harus menjadi orang tua kedua sehingga kita dapat mengubah perilaku buruk siswa dengan “belaian” yang dapat membuat siswa lebih berperilaku positif dan aktif, maka peneliti memilih belaian untuk mengubah perilaku buruk pada anak tunagrahita sedang.
Khusnul Khotimah,S.Pd
SLB PRI Pekalongan