Aktifitas manusia sehari-hari sangat erat kaitannya dengan budaya yang berkembang di lingkungan masyarakat setempat. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang merupakan hasil dari interaksi manusia dengan sesama dan lingkungan alam sehingga menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Salah satu budaya yang berkembang di masyarakat dan sangat dekat dengan siswa adalah permainan. Menurut Piaget (NCTM, 1989) usia siswa sekolah dasar (7-12 tahun) berada pada fase operasional kongkrit. Kemampuan kognitif siswa yang tampak pada fase ini adalah kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat kongkrit yang dapat ditangkap oleh panca indera. Oleh karena itu pembelajaran matematika harus menggunakan hal-hal kongkrit yang dikaitkan dengan realita dan aktifitas manusia sehari-hari.
Pada umumnya siswa sekolah dasar masih gemar bermain. Menurut pandangan siswa, bermain dan belajar adalah sesuatu yang berbeda dan bertolak belakang. Bermain membuat siswa merasa senang sedangkan belajar membuat siswa merasa tersiksa karena harus berpikir dan mengerjakan tugas. Apalagi jika harus belajar matematika yang tidak lepas dari angka-angka. Dalam pembelajaran matematika, agar konsep dapat mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, perlu dilaksanakan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk berbuat dan melakukan, bukan hanya sekedar menghafal dan mengingat fakta saja. Untuk menyelenggarakan pembelajaran yang menjamin keterlibatan siswa dan membuat siswa merasa senang dalam belajar matematika, maka guru dapat menggunakan permainan dalam pembelajaran matematika. Salah satu permainan yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika adalah congklak. Permainan congklak dapat digunakan untuk mengenalkan konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan. Dengan menggunakan permainan congklak dalam pembelajaran matematika diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar matematika yang selama ini merupakan mata pelajaran yang menakutkan bagi siswa.
Mata pelajaran matematika sarat akan konsep yang harus dipelajari oleh siswa. Tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah adalah agar siswa terampil dalam menggunakan konsep matematika untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut, siswa harus melalui langkah pembelajaran penanaman dan pemahaman konsep. Pembelajaran penanaman konsep merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang kongkrit dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran penanaman konsep, media atau alat peraga dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola pikir siswa. Penggunaan media dan alat peraga dapat memperjelas konsep yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa. Oleh karena itu guru harus mampu memilih dan menggunakan media dan alat peraga yang tepat untuk menyelenggarakan pembelajaran yang efektif.
Permainan congklak dilakukan oleh dua orang yang menggunakan papan yang dinamakan papan congklak dan buah yang dinamakan buah congklak atau biji congklak. Umumnya papan congklak terbuat dari kayu dan plastik, sedangkan buahnya terbuat dari cangkang kerang, buah- buahan, batu-batuan, kelereng atau plastik. Pada papan congklak terdapat 16 lubang yang terdiri atas 14 lubang kecil (lubang rumah) yang saling berhadapan dan 2 lubang besar (lubang induk) di kedua sisinya. Tujuh lubang rumah yang terdapat di sisi pemain dan 1 lubang induk di sisi kanan pemain dianggap sebagai milik sang pemain.
Melalui permainan congklak dalam pembelajaran Matematika ini, diharapkan secara umum siswa kelas V SDN Sendangmulyo 03 Kota Semarang mampu termotivasi belajarnya sehingga lebih paham akan materi yang disampaikan oleh guru.
Oleh: Puji Ningtyas, S.Pd
Guru SDN Sendangmulyo 03
Kecamatan Tembalang Kota Semarang