Rasa percaya diri atau yang lebih dikenal dengan PD, siapapun pasti pernah mempunyai masalah dengan rasa PD. Kurang percaya diri dapat menjadi masalah bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-harinya. Meskipun sebagian orang menganggap bahwa percaya diri bukan sesuatu masalah yang besar. Kenyataanya, pada masa remaja rasa percaya diri dapat menjadi salah satu masalah atau hambatan yang dapat dialami oleh siswa. Siswa yang kurang bercaya diri di sekolah menunjukkan sikap atau perilaku seperti; cenderung pendiam dan tidak banyak tingkah di kelasnya, tetapi kadang mereka memiliki prestasi yang tinggi, cenderung menyukai suasana yang sepi, tidak menyukai kondisi ribut, tidak banyak bicara, malu jika berbicara di depan kelas, dan sering diistilahkan sebagai siswa yang berkepribadian introvert.
Introvert adalah sebutan untuk karakter yang pendiam dan suka menyendiri. Sifat pendiam ini membuat kebanyakan anak introvert sering di-bully atau diremehkan teman-temannya. Para introvert adalah orang-orang yang paling sering salah dimengerti oleh orang lain. Mereka dikira tidak suka bergaul, marah saat tidak berekspresi, dan pasif walaupun sebenarnya sedang berpikir. Akibatnya, mereka sering kali tidak diapresiasi oleh orang lain, terutama di sekolah yang lebih menghargai anak-anak yang berani mengangkat tangan, duduk di paling depan, dan berbicara di hadapan teman-temannya, dan dianggap tidak percaya diri.
Kondisi kurang percaya diri juga dialami oleh siswa SMK Negeri 2 Semarang. Terdapat 36 kelas dan di dalam setiap kelas pasti terdapat siswa yang kurang percaya diri dan cenderung introvert. Sebagai seorang guru Bimbingan dan Konseling, tentunya mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu siswa dalam mengoptimalkan potensi dirinya. Oleh karena itu, perlu ada upaya menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa dan khususnya siswa introvert harus dilakukan sedini mungkin untuk mencapai suatu keberhasilan individu dalam menjalani hidupnya. Salah satu upayanya melalui bibliokonseling.
Bibliokonseling yaitu kegiatan membaca buku harus disertai dengan diskusi dan/atau konseling. Kegiatan tersebut sangat sesuai dilakukan untuk siswa yang introvert. Prater, et al. (dalam Herlina, 2013) merumuskan sepuluh tahap yang bisa dilakukan oleh guru dalam menggunakan bibliokonseling, yaitu: 1) mengembangkan rapport, rasa saling percaya, dan rasa percaya diri dengan siswa, 2) mengidentifikasi personil sekolah lain yang bisa membantu, 3) mengumpulkan dukungan dari orangtua atau wali siswa, 4) menetapkan/membatasi masalah tertentu yang dialami siswa, 5) menentukan tujuan yang ingin dicapai dan kegiatan yang dapat mengatasi masalah, 6) meneliti dan memilih buku yang sesuai dengan situasi, 7) memperkenalkan buku kepada siswa, 8) menggabungkan kegiatan-kegiatan membaca, 9) mengimplementasikan kegiatan pascamembaca, 10) mengevaluasi efek bibliokonseling pada siswa.
Selama dan setelah membaca buku, anak mungkin mengalami tiga tahapan dari proses bibliokonseling. Dalam kondisi terapeutik tradisional, anak berusia lebih muda tidak mampu mengalami katarsis yang membawa pada insight terhadap masalah. Namun, bibliokonseling memungkinkan anak berusia lebih muda untuk melihat solusi masalah tanpa verbalisasi mendalam, konfrontasi, dan interpretasi – strategi yang seringkali sangat penting untuk keberhasilan treatment. Dengan bimbingan dari konselor, anak terbantu untuk mengidentifikasikan diri dengan karakter buku yang memiliki masalah yang mirip dengan masalah dirinya. Melalui proses ini, anak mulai melihat bagaimana karakter dalam buku ini mengatasi masalahnya dan kemudian mengenali pemecahannya.
Alis Nihlatin Nisa, S.Pd
Guru Bimbingan Konseling SMK Negeri 2 Semarang