JATENGPOS.CO.ID, – Subtansi agama adalah membawa misi perdamaian seluruh alam, baik secara vertikal maupun horisontal, tidak ada agama manapun yang memerintahkan kerusakan. Bahkan undang-undang agama yang demikian sangat jelas dalil Alqur’an dan Hadisnya.Yakni, perintah akan keseimbangan menjalankan ibadah sosial dan ibadah ilahiyah. Agama Islam, hadir bukan untuk membentuk sebuah institusi negara, melainkan untuk mendorong terwujudnya nilai-nilai universal.
Dari subtansi utama agama ini (misi damai, misi keselamatan) kemudian dikembangkan menjadi ajaran-ajaran yang lebih rinci. Namun tidak boleh keluar dari garis kemanusian dan beradab. Semua harus berlandaskan kemaslahatan, sehingga fungsi utama manusia sebagai kholifah fil ardi (penjaga bumi) tercapai.
Namun dewasa ini banyak terelihat manusia-manusia ahli ibadah, ahli agama tapi diwaktu lain justru bisa melakukan perbuatan layaknya hewan, tak beradab, tak manusiawi. Padahal menurut filosofinya salah satu fungsi ibadah adalah mencegah kerusakan dan kemunkaran. Di sini fungsi ibadah menjadi sia-sia, pelakunya sangat disayangkan karena hanya mendapat lelah fisik tapi hakikatnya tidak mendapatkan hasil. Yang lebih memprihatinkan adalah mereka melakukan perbuatan dosa diatas namakan agama bahkan dilegitimasi kebenarannya dengan dalil-dalil agama.
Salah satu tipologi negatif beragama lagi adalah Eksklusvisme, yakni salah satu cara pandang suatu agama terhadap agama-agama yang berbeda, bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada pada agamanya (wikipedia indonesia).Kelompok ini berpandangan monolitik atau subyektifitas kebenarannya absolut, sehingga ada kelompok eksklusif melabeli kelompok lain yang tidak sama dengan dirinya dengan label kafir, musuh, dan halal diperangi.
Kebalikan eksklusivisme adalah inklusif yang artinya terbuka , toleran. Inklusif beranggapan bahwa agama lain juga mendapat kasih sayang dari Tuhan. Dalam Islam juga diterangkan tentang kasih sayang Alloh SWT kepada umat agama lain, yakni dalam perbedaan makna kasih sayang lafal Rohman (kasih sayang Alloh kepada umat Islam maupun Non Islam) dan Rohim (kasih sayang Alloh yang khusus kepada umat Islam). Selain itu juga diajarkan sikap toleran dalam surat Alkaafirun.
Namun sayangnya ajaran-ajaran utama agama ini sering kalah muncul dipermukaan dibanding egoisme dan cinta buta kaum beragama terhadap agama sendiri, sisi kecerdasan beragama sering dikesampingkan. Bisa kitalihat setiap perjalanan bangsa ini, isu sara tidak pernah ketinggalan, selalu saja muncul dan bisa jadi sebagai pemicu konflik. Terlebih dalam momen pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Orang-orang bahkan rela berdebat dengan saudara, sahabat dan kawan baik via medsos maupun langsung. Mereka lupa bahwa kawan dalam politik tidaklah abadi, bisa jadi periode selanjutnya yang tadinya kawan jadi lawan.
Sikap beragama kita yang terlalu ekslusif melupakan cita-cita luhur bangsa untuk menciptakan kerukunan dan persatuan bangsa. Bahkan justru sumber konflik berasal dari gesekan salah faham antar umat beragama, mereka kurang tepat memahami ajaran agama. Bagaimana tidak, seseorang yang begitu mencintai agamanya berpandangan hanya ajarannya yang paling benar, berarti orang lain salah, orang lain salah berarti harus mendapatkan sanksi, belum lagi jika dia memaksakan kehendaknya pada orang lain, jika orang lain melawan pemaksaan tersebut, disitulah kemudian muncul konflik-konflik kecil maupun besar.
Dari sini bisa disimpulkan, intoleransi tidak bisa ditolerir, maka salah satu pemicunya juga harus dihindari, yakni menghindari pandangan eksklusivisme beragama. Kita harus membuka hati, membuka pikiran bahwa kita punya cita-cita hidup tentram yang harus kita ciptakan.
Maka ada beberapa tips sehat yang harus dicamkan oleh umat beragama dalam menetralisir konflik beragama, diantaranya: 1. Menerima kenyataan keberagaman, bahwa dunia ini tercipta dengan beragam hal, dan disitulah letak keindahannya. 2. Menyadari bahwa kerjasama antar agama adalah niscaya, sama- sama punya tanggung jawab menciptakan ketentraman dan kemajuan. 3. Menolak formalisasi agama tertentu dalam negara, keyakinan tidak bisa dipaksakan, maka mustahil menyatukan seluruh warga negara dengan satu keyakinan. 4. Menolak mengedepankan atau menganaktirikan suatu agama dengan agama yang lain, berlaku adil terhadap siapa saja dan makhluk apapun. 5. Menggunakan cara pandang baik buruk bukan prinsip salah benar, agar kita tidak mudah menghakimi orang lain dengan pandangan tumpul.
Desy Tri Idialisanti, S.Pd, M.Si
Guru PPkn – SMA N 7 Semarang