JATENGPOS.CO.ID, – Fisika salah satu ranah etnosains yaitu ilmu pelajari tentang fenomena alam meliputi material, manusia, dan interaksi antara manusia dan material lainnya Fisika selama ini masih dianggap momok bagi siswa. Untuk itu selaku guru dalam membelajarkan sains harusnya memiliki daya tarik yang tinggi agar anggapan itu berbalik, bukan lagi momok yang menyeramkan tapi mengasyikan sehingga jadi sang idola bagi siswa.
Peran pembelajaran tentang pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat tertentu (Etnosains) sangat penting dimiliki oleh siswa. Penanaman karakter pada siswa dilakukan dengan menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar yang kontektual, sehingga dapat memperkuat pandangan siswa tentang lingkungan yang berdampak pada meningkatnya kemampuan berpikir ilmiah. Lngkungan, baik fisik maupun sosial-budaya dapat memberi kontribusi tertentu pada pengalaman belajar. Pengalaman tersebut dapat berupa pola pikir ranah kognitif, sikap (afektif), maupun pola perilaku (psikomotor).
Solomon menyatakan konsep-konsep sains termasuk fisika yang dikembangkan di sekolah tidak berjalan mulus karena pengaruh kuat oleh factor social, khususnya pengetahuan intuisi tentang dunia lingkungannya (life-word). Ogawa menyatakan salah satu sains intuitif adalah sains social budaya (culture or social scince) atau disebut sains asli (indigenous science). Pengetahuan ini sudah merupakan bagian budaya mereka yang diperoleh dari pandangan tentang alam semesta yang relative diyakini oleh komunitas masyarakat tersebut. Namun, sampai saat ini sains asli merupakan subbudaya dari kelompok masyarakat, kurang disadari dan kurang mendapat perhatian dari pakar pendidkan sains maupun guru-guru sains di Indonesia.
Belajar fisika dengan pendekatan etnosains, yaitu belajar materi fisika dikaitkan dengan budaya yang ada dimasyarakat sekitar atau masyarakat global. Sehingga siswa menganggap bahwa fisika itu sangat dekat dengan kehidupan manusia. Kebiasaan yang dilakukan siswa dihubungakan dengan fisika, agar siswa merasa sangat dekat tak pernah berpisah sehingga akhirnya tumbuhlah rasa cinta pada fisika. Bahasa fisika yang rumit dan penuh rumus itu harus ditepis untuk menghilangkan pobhia siswa, sehingga fisika tak lagi momok tapi idola yang selalu diharap kedatangannya.
Belajar fisika dengan budaya masyarakat sekitar tempat tinggal siswa itu akan lebih mengena dalam pikiran siswa itu sendiri. Misal pada masyarakat Papua ada tradisi Bakar batu yang merupakan perayaan besar oleh masyarakat Papua. Nah, dari situ dapatlah pembelajaran fisika tentang kalor. Seorang guru haruslah berpandai-panda mengemas sehingga siswa mendapatkan konsep fisika dari budaya itu.
Pengetahuan pengukuran yang digunakan masyarakata Aceh identik dengan pengetahuan sains fisika tentang besaran dan pengukuran. Antara lain besaran panjang, massa, volume dan besaran turunan lainnya.Sehingga siswa dapat juga mendiskripsikan jenis alat ukur yang digunakan. Budaya pengetahuan pengukuran yang digunakan dalam adat istiadat masyarakat Aceh juga etnosains. Tempat tinggal siswa atau sekolah yang tinggal di dekat hutan pengahasil kayu, setiap saat menyaksikan kayu-kayu glondong yang besar bisa terangkat di atas truk. Penerapan gaya berlaku pada kasus itu.
Dengan pendekatan etnosains dalam pembelajaran fiska membuat siswa lebih senang bahkan mengidolakan kehadirannya setiap saat, sehingga momok yang menyeramkan tak lagi muncul. Mari kita kupas materi fisika dan identikan dengan kehidupan manusia serta lingkungannya.
SULASIH, M.Pd.
Guru Fisika SMA N 1 Sambungmacan, Sragen