29.1 C
Semarang
Senin, 11 Agustus 2025

Kisah Doktor jadi Pemulung di Blora (Part 2/3)

JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG  –  Bergelar doktor jadi pemulung, sebenarnya bukan semata-mata karena keterpaksaan. Tetapi karena pilihan di tengah tekanan kekuasaan, kala itu. Itulah yang dijalani Dr. Soesilo Toer, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer, di Blora.

Pulang sekolah dari Rusia tahun 1973, doktor Soesilo Toer sebenarya pengin mengabdi kepada negara. Menjadi dosen negeri atau bekerja di pemerintahan. Tetapi nasib politik berkata lain. Dia malah ditangkap dan ditahan begitu tiba di tanah air. Dengan tuduhan sebagai pendukung PKI seperti kakaknya, Pramoedya Ananta Toer. Padahal resminya, dia ditahan karena pelanggaran imigrasi karena tidak memperpanjang paspor yang habis saat kuliah S3 di Rusia.

Setelah ditahan hampir enam tahun, dia berusaha bangkit dengan berbisnis buku tulis kecil-kecilan di Jakarta. Sempat jaya dan berhasil membeli rumah di Bekasi. Tetapi akhirnya mandek. Lalu mencoba mencari kerja dengan memanfaatkan ijazah doktornya. Tetapi instansi yang berbau pemerintah menolaknya dengan alasan mantan tapol PKI.

Ada dua kampus swasta di Jakarta yang menerimanya, Untag Jakarta dan Universitas Bung Karno. Dia sempat menjadi dosen mengampu empat mata kuliah. Bahkan sempat dipercaya menjadi lektor kepala. Tetapi karena lagi-lagi dituduh terlibat PKI, gelar doktornya dicabut oleh Menteri Pendidikan waktu itu. Beberapa tahun dia tidak diberi perkerjaan di kampus tersebut. Akhirnya pilih keluar dan pulang ke tanah kelahiran di Blora Jawa Tengah.

“Pulang dari Rusia sebenarnya saya pengin mengabdi kepada negara yang mengkuliahkan saya. Tetapi malah ditangkap dan ditahan. Bahkan saya pernah jadi dosen swastapun akhirnya juga dicabut doktor saya,”kata Dr.Soesilo Toer.

Karena di Blora tidak ada peluang kerja yang sesuai ijazah doktornya, akhirnya Pak Sus, panggilan pria 86 tahun itu, mencoba kerja seadanya. Menjadi pemulung jalanan pun dilakoni hingga sekarang.

Baca juga:  Mutu Standar Pasar Global, Vanili Kabupaten Semarang Ekspor ke AS

“Meski dicibir banyak orang, saya tidak malu. Yang penting saya menikmati jalan hidup saya. Saya bangga tidak menjadi budak orang lain. Saya bisa menghidupi jalan hidup saya dengan keringat saya sendiri,”tambah kakek brewokan putih itu.

Selain menjadi pemulung, Dr.Soesilo Toer juga punya banyak kegiatan yang menghasilkan. Diantaranya sering diundang menjadi pembicara di sejumlah kegiatan seminar tentang buku dan seputar sejarah hidup kakaknya, Pramoedya Ananta Toer.

Dia juga mengelola perpustakaan di rumahnya bernama PATABA. Singkatan dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. Semua sudut rumahnya penuh buku karya-karya Pram dan dia sendiri.

“Ada ribuan buku di sini. Paling banyak buku-buku karya Pram dan karya saya sendiri. Sudah tidak terhitung berapa banyak orang datang dan membaca buku-buku PATABA ini,”imbuhnya.

Selain pembaca lokal penyuka buku-buku Pram, rumahnya juga sering didatangi mahasiswa asing untuk mencari literatur. Menurutnya, semua karya Pram sebanyak 40 judul dipajang di perpustakaan rumahnya. Belum buku-buku karya dia sendiri yang jumlanya lebih dari 40 judul. Buku Pram yang paling disuka pembaca adalah buku yang ditulis saat menjalani penjara di pulau Buru. Diantaranya Bumi Manusia, Jejak Langkah, Gadis Pantai, Arok Dedes, dll. Buku-buku itulah yang di dituduh pemerintah orde baru berisi propaganda PKI.

“Jadi saya ini meski pemulung tidak hanya hidup dari mencari sampah. Saya punya kegiatan lain yang menghasilkan juga. Saya pernah diundang TV Hitam Putih dikasih honor Rp 7 juta, dindang acara lainya dikasih honor Rp 3,5 juta. Bulan-bulan ini saja sudah tiga undangan seminar antri dari Semarang hingga Jogja”tambahnya.

Baca juga:  Prof. Euis Soliha Dikukuhkan Sebagai Guru Besar Pada Rapat Senat Terbuka Unisbank Semarang

Tetapi dari pendapatan itu tidak dimakan sendiri. Lebih banyak malah digunakan untuk mengembangkan perpustaakan miliknya. Selain membuka perpustakaan PATABA di rumahnya, juga mendirikan perpustakaan di empat daerah di Blora. Semunya menyediakan buku-buku karya Pram dan dirinya.

“Uangnya malah buat ngembangin perpustakaan supaya anak muda suka membaca. Kalau hanya untuk makan dari hasil sampah sudah cukup. Apakah saya perlu cerita kegiatan saya selain mencari sampah?,”tanyanya.

Menurutnya, dia sebenarnya lebih banyak mengarang buku daripada Pram. Sudah ada sekitar 50 judul buku. Namun yang sudah terbit baru 20 buku. Sisanya sekitar 30 judul masih mencari penerbit yang mencetaknya.

“Saya suka menulis sejak kecil. Dulu waktu ikut Pram suka minjem mesin katiknya untuk membuat tulisan,”katanya.

Setelah pulang ke Blora, dia suka menulis siang hari saat istirahat. Malam hari mencari sampah lalu paginya memilahnya. Setelah selesai lalu menulis sambil tiduran.

Beberapa judul buku yang ditulisnya adalah, Suka Duka si Pandir (novel, 1963),Komponis Ketjil dan Tjerita-tjerita Lain (Kumpulan cerita anak-anak, 1963), Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (Memoar, 2009).

Lalu judul Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer (Memoar 2009), Di Antara Pena, Perempuan dan Keberanian (Biografi). Lalu Pram dan Seks (Biografi), Legenda Gunung Kemukus (Cerita legenda), Putri Sendang Wungu (Cerita legenda), dan masih banyak lagi.

“Dari buku-buku itu saya juga dapat royalti. Jadi jangan meremehkan pemulung,”pintanya.

Lalu, sebenarnya seperti apa keyakinan keluarga Pramodeya Ananta Toer dan Dr. Soesilo Toer, sehingga dituduh PKI? Apa agamanya? Benarkah berpaham PKI dan tidak beragama? Ikuti kisah sambungan berikutnya. (bersambung)


TERKINI

Rekomendasi

Lainnya