Dunia pendidikan semakin semarak dengan berkembangnya Teknologi Pendidikan (Edu-Tech). Sebagian orang mengira bahwa Edu-Tech tumbuh dan berkenbang pada masa pandemi Covid-19 beberapa tahun terakhir ini. Namun sebenarnya Edu-Tech sudah ada dan berkembang jauh sebelum pandemi. Hanya saja kebanyakan pendidik masih enggan menggunakan Edu-Tech dalam mengajar dengan alasan rumit dan sebagainya. Dengan adanya pandemi yang mengharuskan pembelajaran dilaksanakan secara online, maka mau tidak mau pendidik harus menggunakan teknologi dalam mengajar. Dan pada akhirnya pendidik menjadi ketagihan menggunakan Edu-Tech karena lebih mengasikkan dan disukai siswa.
Siswa sekolah dasar mempunyai kemampuan mengklasifikasikan sesuatu yang sudah ada dan belum dapat memecahkan problem-problem yang bersifat abstrak. Teori kognitif John Piaget menyebutkan bahwa pada rentang usia 7-11 tahun merupakan tahap operasi konkrit. Di usia 7-8 tahun seorang anak akan mengembangkan kemampuan mempertahankan ingatan terhadap substansi (Marinda, 2020). Dan di usia inilah banyak sekali terjadi ketimpangan pembelajaran dikarenakan guru belum memahami karakter siswa kelas rendah. Guru menganggap bahwa siswa di kelasnya memiliki kemampuan yang sama dengan siswa di kelas atasnya.
Demikian pula yang terjadi di kelas II SDN 4 Kronggen Kecamatan Brati Kabupaten Grobogan. Penulis yang merupakan guru di kelas tersebut mendapatkan kesulitan dalam mengajarkan materi Membandingkan Pecahan di kelas II semester 2 Tahun Pelajaran 2022/2023. Siswa cenderung pasif dan malas dalam belajar. Hasil penilaian pada materi Membandingkan Pecahan di kelas tersebut sangat mengecewakan. Hanya 5 siswa yang tuntas KKM, sedangkan 9 lainnya mendapatkan nilai yang jauh di bawah KKM. Jika diprosentase, hanya 36% siswa tuntas pada materi Membandingkan Pecahan. Kondisi inilah yang membuat penulis memutuskan untuk mengubah strategi pembelajaran di kelasnya.
Penulis memutuskan untuk menggunakan Edu-Tech dalam pembelajaran di kelasnya. Penulis menggunakan media pembelajaran berupa GBL (Game Based Learning). Penulis sadar bahwa generasi Z sangat menyukai sesuatu yang kreatif, praktis dan menyenangkan dalam berbagai aktivitas, termasuk ketika belajar. Penulis meciptakan sebuah video game yang dapat dibuka melalui gadged ataupun desktop. Siswa tidak perlu menginstal aplikasi, hanya meng-klik link video game yang dikirim guru di WAG. Lalu siswa mengerjakan latihan-latihan soal dalam video game tersebut. Dan nilai dari pengerjaan soal langsung dapat terlihat ketika siswa telah mengerjakan semua soal dan menekan tombol “finished”. Disini terlihat sekali siswa antusias dalam mengerjakan soal-soal dalam video game.
Selama pembelajaran berlangsung terlihat keaktifan siswa semakin meningkat. Siswa menjadi termotivasi dalam belajar. Mereka tak bosan-bosannya untuk mencoba dan mencoba lagi memainkan video game nya. Di akhir sesi pembelajaran, guru memberikan tes evaluasi. Dan hasilnya sangat menggembirakan. Terjadi kenaikan prosentase ketuntasan belajar siswa dari 36% menjadi 86%. Hanya ada 2 siswa dari 14 siswa di kelas II yang masih harus mengikuti remidi. Dari sini terbukti bahwa GBL sangat membantu dalam memotivasi belajar siswa dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas II semester 2 SDN 4 Kronggen pada materi Membandingkan Pecahan. Pernyataan yang sama dilontarkan Hadisaputra dalam jurnal berjudul “Strategi Pemnanfaatan Game Online untuk Mendidik Anak Usia Dini” yaitu game online berkontribusi meningkatkan daya kritis, kreativitas dan inovasi serta kemampuan menyelesaikan masalah. (https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/nanaeke/article/view/26721/13266)
Asep Nurarianto, S.Pd.SD
SDN 4 Kronggen, Kecamatan Brati
Kabupaten Grobogan