JATENGPOS.CO.ID – Membaca adalah jantungnya pendidikan. Pemerintah melalui Kemdikbud telah meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk menumbuhkan budi pekerti siswa. Salah satu tujuan GLS adalah menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis siswa di sekolah sehingga tercipta pembelajaran sepanjang hayat. Membaca adalah dasar untuk menguasai semua bidang ilmu. Namun, sudahkah GLS dilaksanakan dengan maksimal di masing-masing satuan pendidikan?.
Pada hakikatnya, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) memiliki peranan yang sangat penting di era digital native saat ini. Selain itu, GLS juga memiliki peranan dalam meningkatkan mutu pendidikan dan menghadapi globalisasi teknologi informasi. Sebagaimana yang kita ketahui, peringkat capaian pendidikan Indonesia yang dirilis oleh Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2012 menempatkan Indonesia di papan bawah. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya minat baca siswa. Akibat dari rendahnya minat baca, pola pikir siswa pun menjadi praktis dan membuat mereka mudah frustasi. Sungguh sebuah fakta yang sangat memprihatinkan.
Survei yang sama juga dalakukan oleh UNESCO pada tahun 2012. Hasil survei menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia adalah 0,001 persen. Artinya adalah hanya ada 1 orang dari 1000 penduduk Indonesia yang memiliki minat baca. Hal ini tentunya berdampak pada rendahnya kualitas masyarakat Indonesia pada umumnya dan rendahnya kualitas siswa di Indonesia pada khususnya.
Sebetulnya, banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Diantaranya adalah dengan membaca kita akan mendapat informasi dan pengetahuan. Selain itu, dengan membaca kita pun akan mendapat hiburan, misalnya membaca novel, cerpen, buku cerita dan sebagainya. Hal yang tak kalah penting adalah dengan membaca dapat memenuhi tuntutan intelektual, meningkatkan minat terhadap suatu bidang, dan meningkatkan konsentrasi.
Mengapa minat baca siswa di Indonesia masih sangat rendah?. Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca siswa di Indonesia. Diantaranya adalah pertama, banyaknya jenis hiburan, permainan (game), dan tayangan TV yang telah mengalihkan perhatian siswa dari buku dan surfing di internet. Kedua, banyaknya tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti supermarket, tempat rekreasi dan sebagianya. Ketiga, sistem pembelajaran yang belum memuat siswa harus banyakmembaca buku, mencari informasi dan pengetahuan, mengapresiasi karya-karya ilmiah dan sebagainya. Dan keempat, sifat malas untuk membaca yang telah merajalela di kalangan siswa sehingga sulit untuk menambah ilmu pengetahuan.
Berdasarkan fenomena di atas, maka sekolah menjadi wadah dari gerakan literasi. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guna mewujudkan gerakan literasi tersebut. Diantaranya adalah dengan diskusi hasil buku, membaca senyap 15 menit setiap hari, perpustakaan sekolah/kelas, kunjungan ke pameran buku, reading award dan sebagainya. Selain itu, guru pun memiliki peranan peting guna menumbuhkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Guru harus selalu mendorong dan memotivasi siswa untuk meningkatkan minat baca yang tinggi.
Guru juga harus mengawasi proses membaca siswa baik dari jarak dekat maupun jauh. Hal ini mengandung maksud agar siswa merasa selalu ada bimbingan dan pengawasan sehingga bacaannya terarah dan terukur. Selain itu, guru bisa juga mewajibkan semua siswa membudayakan mebaca dan membuat slogan-slogan di kelas, seperti “Tiada Hari Tanpa Membaca”, “Buku adalah Jendela Ilmu Pengetahuan, dan sebagainya.
Namun demikian, sinergi yang baik antara masyarakat, pemerintah, sekolah, dan siswa sangat diperlukan guna mewujudkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS tidak akan berlangsung dengan maksimal tanpa dukungan masif dari publik.