JATENGPOS.CO.ID, – Munculnya larangan pemberian pekerjaan rumah (PR) yang bersifat akademik dari beberapa pemerintah daerah, seperti di Purwakarta menjadi kontroversi bagi beberapa pihak. Mereka yang menyetujui menganggap pemberian PR menyita waktu anak untuk bermainĀ dan tidak berdampak signifikan terhadap prestasi belajar anak. Namun mereka yang menolak menganggap siswa menjadi tidak mau belajar karena tidak ada PR.
Pada dasarnya PR merupakan tugas mandiri terstruktur sebagai latihan tambahan. Pada tahun 1905 seorang guru di Nenice Italia (Roberto Neveilis), mulai memberikan PR untuk murid-muridnya, dengan asumsi mereka mempunyai banyak waktu yang luangdi rumah dan mereka berasal dari keluarga yang berkecukupan dan sering melakukan pelanggaran di sekolah. PR diberikan sebagai hukuman terhadap setiap pelanggaran sehingga murid-murid menjadi menjadi lebih rajin, terampil dan meningkatkan kreativitas serta kemandiriannya.
Dalam perkembangannya PR bukan lagi sebagai hukuman, melainkan sebagai sarana untuk mengulang materi pembelajaran yang disampaikan di sekolah.Selain itu PR merupakan sarana bagi orang tua dalam memantau kemampuan anak dalam mengikuti proses pembelajaran. Di sisi lain PR mejadi bagian yang terencana dalam pembelajaran yang tertuang dalam Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP).
Kontroversi PR muncul ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mulai mewacanakan penerapan full day school atau lima hari sekolah. Durasi waktu belajar di sekolah yang sudah panjang ditambah dengan PR yang bisa saja begitu banyak dan bertele-tele akan semakin memangkas waktu bermain anak dan waktu untuk keluarga, sehingga anak tidak punya waktu bersosialisasi dengan teman-temannya.Keluarnya larangan pemberian PR menjadi angin segar bagi anak-anak, seolah mereka lepas dari kewajiban belajar di rumah. Ada anggapan selama ini, bahwa belajar di rumah diidentikkan dengan mengerjakan PR atau persiapan untuk penilaian. Namun berbeda dengan pandangan orang tua sebagai control dalam pembelajaran di rumah. Bagi orang tua PR sebagai acuan untuk mengukur kemampuan anak dalam menguasai pembelajaran. Di sisi lain peranan orang tua dalam pembelajaran anak seolah ditiadakan, anak belajar hanya di sekolah.
Kondisi masing-masing anak berbeda, sebagian anak mempunyai kemauan belajar yang tinggi, utamanya anak kota yang terlihat antusias mengikuti program bimbingan belajar. Anak belum merasa puas hanya dengan pembelajaran di sekolah. Terkadang pembelajaran di bimbingan belajar dianggap lebih menarik, karena metode pembelajaran yang lebih dapat diterima oleh anak. Hal ini sebenarnya menampik alasan bahwa waktu bermain anak berkurang manakala anak mengerjakan PR.
Bagi guru PR dapat menjadi ukuran penguasaan materi pembelajaran, dan digunakan sebagai pijakan untuk melangkah ke pembelajaran berikutnya. PR juga dimanfaatkan guru untuk menyelesaikan pembelajaran yang belum secara tuntas di sampaikan di kelas. Di samping itu dengan PR guru membekali anak mempelajari materi yang akan disampaikan pada pertemuan berikutnya. Namun, PR akan menjadi tidak bermanfaat ketika guru memberikan PR dengan tidak terencana, artinya guru hanya asal memberi PR.
Presiden Joko Widodo pernah mengusulkan agar PR diberikan untuk tujuan penguatan karakter dalam bentuk kegiatan sosial, seperti kerja bakti di lingkungan atau menengok orang yang sakit.Hal ini selaras dengan tujuan pembentukan manusia yang seutuhnya dengan pembelajaran yang meliputi aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Selain itu PR sebetulnya mampu mengurangi waktu luang anak yang terkadang dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas yang kurang bermanfaat, seperti bermain game yang dapat menyebabkan kecanduan. Maka dari itu perlu dikembangkan format yang baik agar PR dapat membantu tumbuh kembang anak menjadi manusia yang seutuhnya dengan memberikan motivasi dalam belajar dan bersemangat dalam berusaha.
Suranto, S.Pd.