Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis. Hakikat belajar IPA tidak hanya terbatas pada penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan (inkuiri). Pembelajaran IPA tentunya mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk menguasai kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses penemuan dan memiliki sikap ilmiah (BSNP, 2006). Permasalahan mendasar dalam pembelajaran IPA adalah masih banyak guru yang hanya mentransfer ilmu saja. Sebagian besar guru IPA belum berorientasi pada keterampilan proses IPA seutuhnya sehingga kemampuan berpikir dan kemampuan berinkuiri belum optimal. Kalaupun ada ketrampilan proses umumnya hanya disajikan dalam praktikum saja.
Pembelajaran IPA yang dilakukan dengan mentransfer ilmu saja tentu akan membuat siswa cepat bosan, tidak tertarik, merasa tidak menyenangkan sehingga menimbulkan siswa tidak aktif belajar. Keaktifan siswa dapat dilihat dari aspek-aspek keterlibatan seperti minat mendengarkan, bergairah dalam pembelajaran, aktif berpikir dan bekerja, aktif mengajukan pertanyaan, rasa ingin tahu tinggi, tidak takut berpendapat dan lain-lain. Keterampilan proses IPA untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang tertuang dalam standar Isi Kurikulum 2006 meliputi: mengamati, menggolongkan , mengukur, menggunakan alat, mengkomunikasikan hasil, menafsirkan, memprediksi, menganalisis, mensintesis, dan melakukan percobaan.
Berdasarkan penelitian terhadap siswa SMP Negeri 1 Candiroto tahun 2017, pada materi Cahaya adalah sebagai berikut: siklus I prosentase keaktifan siswa 53,7% dan prosentase ketrampilan proses 60,59%. Pada siklus II, terjadi peningkatan prosentase keaktifan menjadi 70,00% dan prosentase ketrampilan proses 75,33%. Pada siklus III, terjadi peningkatan lagi prosentase keaktifan menjadi 85,33%, dan prosentase ketrampilan proses menjadi 79,25%. Peningkatan keaktifan maupun peningkatan ketrampilan proses dari siklus demi siklus disebabkan karena pengaruh refleksi dan penghargaan (reward) yang diberikan oleh guru.
Pada pendekatan guided inquiry ini , baik secara individu maupun kelompok pada awalnya siswa dibimbing oleh guru. Sedikit demi sedikit bimbingan dikurangi sampai pada siklus III bimbingan guru dihentikan. Ternyata sebagian besar siswa menjadi lebih aktif terlibat, lebih senang, tidak canggung menggunakan alat-alat praktikum, tidak canggung menulis hasil pengamatannya, tidak takut berpendapat dan terbiasa berpikir mandiri. Pada akhirnya hanya dengan sedikit bimbingan guru, siswa mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang mereka temui saat pembelajaran berlangsung.
Pendekatan guided inquiry ini sebenarnya tidak hanya dapat dilakukan dengan metode praktikum saja. Tetapi dapat dilakukan dengan metode lain seperti ceramah puls tanya jawab, diskusi, problem solving, proyek dan lain-lain. Pada awalnya memang banyak kendala untuk melakukan pendekatan guided inquiry ini, terutama masalah pengkondisian siswa dan pemanfaatan waktu. Akan tetapi semakin lama siswa semakin terbiasa, sehingga waktu dapat dimanfaatkan lebih tepat.
Bagi guru IPA, sebaiknya dalam kegiatan pembelajaran berupaya menggembangkan keterampilan proses IPA nya. IPA jangan diajarkan secara verbal/hapalan dan transfer ilmu saja tetapi terintegrasi dengan kegiatan inkuiri. Penilaian terhadap pembelajaran IPA pun hendaknya juga tidak hanya pada ranah kognitif saja akan tetapi ada penilaian terhadap sikap dan ketrampilan proses belajarnya. Untuk jenjang SMP dirasa lebih tepat menggunakan pendekatan inkuiri terbimbing (guided inquiry)) bukan inkuiri bebas (free inquiry) maupun . inkuri bebas yang dimodifikasi (modified free inquiry).
Supardiyah, M.Pd
SMP Negeri 1 Candiroto, Candiroto, Temanggung