JATENGPOS.CO.ID – ‘Umar Bakri’, itulah sebutan bagi guru jaman dulu. Sebutan ini diidentikkan dengan penampilan guru yang sangat bersahaja. Bahkan hingga kendaraan yang digunakan, sepeda ontel tua yang menemaninya ke tempat kerja. Dalam kesederhanaannya itu ‘Sang Umar Bakri’ mampu menghantarkan anak didiknya menjadi ‘orang’. Walau fasilitas yang ada di sekolah juga demikian terbatasnya. Banyak anak didik mereka menjadi pejabat yang berakhlak mulia.
Tengoklah para pendiri bangsa negara kita seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka begitu berkarakter. Dari siapa karakter itu terbentuk? Tentu dari guru.Kini, saat fasilitas demikian modern, wawasan guru semakin luas, akhlak siswa justru sering melampaui batas. Guru tidak lagi dianggap sebagai sosok yang harus digugu dan ditiru. Sebaliknya guru kerap menjadi sasaran kekecewaan anak didik. Pembunuhan, minimal ancaman secara fisik dialami oleh guru yang mungkin jarang bahkan tidak terjadi pada jaman dulu. Salah siapakah sebenarnya?
Bagaimanapun guru ikut andil menjadi penyebab buruknya akhlak anak didik. Karena pada hakikatnya guru itu ibarat seorang pelukis. ‘Pelukis’ masa depan anak didik. Agar menjadi ‘pelukis’ yang baik dan berhasil, maka seorang guru harus memiliki beberapa kapasitas yang diperlukan. Menurut Kastori,S.Pd dala bukunya ‘Surat Sakti Buat Guruku Tersayang’, setidaknya ada lima kapasitas yang dipersyaratkan.
Pertama, guru haruslah mualim. Maknanya, seorang guru harus cerdas. Guru harus memiliki kapasitas ilmiah yang dibutuhkan untuk bekal mendidik. Dengan kata lain guru adalah pembelajar. Agar menjadi pembelajar yang sukses maka dia harus serius, bersungguh – sungguh dalam mengerjakan sesuatu.
Tidak hanya itu, guru juga harus memiliki dorongan yang kuat untuk selalu mencapai prestasi setinggi-tinginya. Harus pula memiliki kemauan untuk selalu belajar, rendah hati, optimis, serta sabar. Nabi Muhammad bersabda sebagaimana terdapat dalam hadis riwayat Bukhari dan Ibnu Abbas : “Jadilah kamu pendidik yang penyantun, ahli fikih dan berilmu pengetahuan.”
Kapasitas guru yang kedua adalah mursyid. Guru harus mampu menjadi sarana pembuka hati dan pembawa hidayah bagi anak didiknya. Gurulah orang yang paling tahu dari pintu hati mana kesadaran anak didik akan dibuka. Sehingga pada akhirnya anak akan mudah menerima kebenaran yang disampaikan dan dibawanya.
Ketiga, memiliki kapasitas sebagai muajih. Tidak hanya ilmu yang dimiliki, guru harus menguasai berbagai metode, strategi serta teknik pembelajaran yang berguna untuk mentransformasi ilmu.
Penguasaan metode menjadikan proses dan hasil kegiatan belajar mengajar lebih meningkat. Sementara metode yang canggih, mampu melibatkan anak didik baik secara emosional maupun intelektual dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Hasilnya, segala kegiatan yang dilaksanakan akan memiliki nuansa kebersamaan yang tinggi. Metode yang tepat dan menarik, menjadikan hubungan guru dengan anak didik seperti sahabat.
Keempat, kapasitas guru sebagai walid. Guru harus mampu berperan sebagai orang tua bagi anak didiknya. Guru menjadi tumpuan curahan hati anak didik. Tidak ada sekat-sekat pribadi dan psiskologis yang menghalangi, sehingga penyimpangan moral bisa segera diatasi.
Terakhir, kapasitas guru sebagai muadib. Guru adalah sosok manusia yang harus menjadi orang yang digugu dan ditiru. Guru harus mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Segala ucapan dan perbuatannya selalu selaras, seia sekata. Tidak sebagaimana ungkapan bahasa Jawa ‘jarkoni’ (bisane mung ujar ora bisa nglakoni – bisanya hanya berbicara, tidak bisa melaksanakan).
Apabila guru sudah memahami seluruh kapasitas yang harus diperankan, maka ‘lukisan’ yang dihasilkan tentu akan luar biasa, mampu memukau semua penikmatnya. Anak didik akan menjadi sosok individu yang kuat dan berkarakter baik sikap, sosial maupun psikomotoriknya yang siap menghadapi tantangan dan ancaman di masa datang.