JATENGPOS.CO.ID, – Beberapa dekade yang lalu profesi guru dipandang sebelah mata dari sudut pandang income. Guru selalu indentik dengan penampilan yang ‘ndeso’ atau ‘kampungan’ dan sederhana. Kesederhanaan yang melekat pada guru kala itu berbanding lurus dengan pendapatan yang mereka terima. Namun demikian pada waktu itu guru bekerja dengan setulus hati dan ikhlas. Murni dari hati mereka berkeinginan untuk mengajar dan mendidik putra putri penerus generasi bangsa. Oleh sebab itu guru mendapat gelar yang begitu mulia, ‘Pahlawan tanpa Tanda Jasa’. Gelar tersebut begitu melekat di masyarakat sehingga dilingkungan RT, RW maupun desa para guru dan pasangannya selalu di panggil dengan ‘Pak guru atau Bu Guru’. Namun seiring dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, gelar yang begitu sakral tersebut pun mulai sirna. Bahkan gelar terebut tergantikan dengan yang kurang enak didengar ‘Pahlawan Pengejar Jasa’.
Niat baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru dengan menerbitkan Undang-Undang no 14 Tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru menyebutkan bahwa guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya berhak mendapatkan berhak mendapatkan tunjangan profesi baik guru PNS maupun guru bukan PNS. Dengan lahirnya undang-undang tersebut guru mendapat mendapat kesempatan untuk memperoleh tunjangan profesi yang nilainya setara dengan satu kali gaji pokok sesuai pangkat/golongan yang bersangkutan. Tunjangan Profesi Guru (TPG) dianggap berhasil mencapai salah satu tujuannya, yaitu meningkatkan kesejahteraan guru. Hal ini dapat kita liat kenyataan pada saat ini hampir semua guru baik PNS maupun non PNS yang telah menerima TPG telah dapat memiliki tempat tinggal dan kendaraan yang layak.
Namun demikian dengan fasilitas tambahan berupa TPG tersebut, guru dituntut untuk memenuhi beberapa persyaratan agar tunjangan tersebut dapat dicairkan. Syarat utama adalah guru sudah memiliki sertifikat pendidik sedangkan sebagian besar persyaratanpendukung yang lain memakan lumayan banyak waktu untuk dipenuhi. Karena tuntutan seorang guru yang bersertifikat pendidik sudah seyogyanya diikuti dengan peningkatan profesionalisme dalam menunaikan tugas dan kewajibannya. Untuk memenuhi dokumen pendukung tersebut sering dijumpai seorang guru tidak dapat menunaikan tugas utamanya untuk mengajar dan mendidik siswa. Sehingga para guru tersebut dengan berat hati meninggalkan kewajiban tersebut dan hanya digantikan dengan pemberian tugas. Lebih parahnya lagi, tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh siswa hanya berkahir menjadi tumpukan kertas karena tidak dikoreksi, hanya sekedar di paraf. Lebih jauh, dapat dilihat di kenyataan saat ini, kelas kelas banyak yang kosong sehingga siswa ramai bahkan berkeliaran karena bapak/ibu guru sibuk dengan tugas mereka untuk memenuhi syarat agar TPG tetap ditangan.
Dengan adanya fenomena tersebut, maka julukan untuk seorang guru mulai beralih dari “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” menjadi “Pahlawan Pengejar Jasa”. Peralihan pandangan tersebut tentu karena beberapa fakta yang ditemukan langsung di masyarakat. Fakta dimana masyarakat beranggapan bahwa guru zaman sekarang lebih condong bertujuan untuk mengejar materi semata. Materi yang secara jelas terwujud dalam TPG. Sehingga mereka rela mengesampingkan kewajiban mereka.
Oleh karena itu sebagai guru, kita harus kembali bercermin dan merefleksi diri kita sendiri. Layakkah kita menerima TPG? Sudahkan kita memanfaatkan TPG dengan benar? Pertanyaan tersebut sering muncul karena pandangan dari berbagai kalangan msyarakat ketika seorang guru menerima TPG maka kesejahteraan meningkan namun profesionalisme masih dipertanyakan. Maka untuk mengembalikan ‘nama baik’ dan meningkatkan profesionalisme guru, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Sistem rewars dan punishment yang nyata bukan hanya di atas kertas dan di abaikan. Sehingga guru benar benar mengajar dengan tulus, semangat dan iklas tanpa harus terkesampingkan kesejahteraannya.
Ratnasari Suhatma Paramita, S.Pd
SMP N 3 Satap Jenar
Sragen