Dikehidupan sehari-hari istilah tunagrahita mungkin masih terasa sangat awam terdengar di telinga anda, walaupun bukan tidak mungkin setiap hari anda bersinggungan dengan ABK ( Anak Berkebutuhan Khususs ) tunagrahita. Kebanyakan dari anda mungkin mengenal seseorang yang mengalami ketunagrahitaan sebagai orang yang bodoh, bahkan mungkin anda akan menyebutnya keterbelakangan mental. Banyak terminologi yang digunakan untuk menyebut kondisi dengan kecerdasan dibawah rata-rata ini. Istilah yang familiar digunakan di Indonesia merujuk pada kondisi ini adalah lemah pikiran, retardasi mental, terbelakang mental,dan tunagrahita. Lantas siapa dan bagaimanakah anak tunagrahita itu? Mengapa kita harus mengenal anak tungrahita itu dengan baik?.
Banyak pakar yang telah mendefinisikan siapa dan bagaimanakah seorang anak dimasukkan kedalam kategori penyandang tunagrahita. Hallahan & Kauffman (1988: 47) mendefinisikan tunagrahita sebagai “Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and manifested during the developmental period” artinya ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini termanifestasi pada masa perkembangannya. Lalu mengapa penting mengetahui tentang anak tungrahita itu?. Suatu pemahaman yang mendalam terhadap siapa dan bagaimana seorang tunagrahita itu adalah suatu hal yang sangat penting dalam rangka menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran yang tepat bagi mereka.
Secara umum karakteristik anak tunagrahita selain berkaitan dengan perkembangan kognitif, juga berkaitan dengan perkembangan sensori, bahasa, konsep diri, interaksi sosial, kreatifitas dan motorik. Yusuf dan Sugandhi (2011:59) menyatakan bahwa seiring dengan perkembangan fisiknya, maka perkembangan motorik anak seharusnya sudah dapat terkoordinasi dengan baik serta setiap gerakannya sudah selaras dengan kebutuhan atau minatnya. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk anak tunagrahita. Kemampuan motorik halus seperti memegang mainan, makan menggunakan sendok, menulis, menggunting dan sebagainya tidak sebaik anak normal. Untuk itu diperlukan suatu teknik dan media yang tepat untuk membantu ABK tunagrahita dalam mengembangkan motorik halusnya.
Kolase bisa dijadikan sebagai latihan untuk membantu ABK tunagrahita mengembangkan kemampuan motorik halusnya. Kolase adalah karya seni rupa dua dimensi yang menggunakan berbagai macam paduan bahan seperti kertas, kain, kaca, logam, kayu, dan lainnya yang ditempelkan pada permukaan gambar. Di SLB BC Bagaskara Sragen guru menggunakan kolase sebagai media melatih motorik halus siswa kelas 1 tunagrahita dengan menggunakan sedotan. Siswa menyusun guntingan sedotan yang berwarna – warni, kemudian ditempel pada sebuah gambar sesuai dengan gambar yang diinginkan siswa. Dengan melihat gambar, siswa akan tertarik dan tidak lekas bosan. Kegiatan ini tanpa disadari akan melatih motorik halus siswa. Pada saat mengambil, mengelem dan menempel guntingan sedotan, koordinasi motorik halusnya akan terlatih dengan sendirinya. Ketika anak berhasil menyelesaikan keterampilan kolase dengan baik dan lancar, dan melakukan latihan secara rutin berulang-ulang, maka kemampuan motorik halus secara perlahan akan mengalami peningkatan. mengacu pada teorinya Edward L. Thorndike yaitu pada dalam hukum latihan (the law of exercise) yang menyatakan bahwa hubungan atau koneksi antara stimulus dan respon akan menjadi kuat apabila sering digunakan. Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa kolase merupakan dalah satu pilihan terbaik untuk melatihkan kemampuan motorik halus ABK Tunagrahita.
TRI WINARSIH,S.Pd
Guru SLB BC Bagaskara Sragen