Literasi sangat menunjang dalam kemajuan pendidikan di sekolah dan secara umum akan meningkatkan kualitas minat baca siswa, Guru dan Tenaga Kependidikan di sekolah.Literasi juga diyakinioleh masyarakat maju sebagai kebutuhanyang sangat penting bagi setiap manusia
Beberapa bidang pengajaran di kelas selalu menekankan bagaimana cara agar siswa gemar membaca. Para pengajar paham betul bagaimana cara mengajarkan siswanya membaca, namun mereka tidak menerapkan budaya membaca. Rata-rata orang Indonesia hanya membaca 3-4 kali per minggu dengan durasi rata-rata 30-59 menit, sedangkan rata-rata jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata 5-9 buku.
Kurangnya minat baca menyebabkan posisi yang kurang menguntungkan bagi siswa. Mereka memiliki sedikit peluang mengejar ketertinggalan informasi. Jadi apa yang dapat guru lakukan untuk memastikan bahwa siswa di luar sekolah tetap membaca?
Terlepas dari kondisi ini, selama bertahun-tahun pera membaca filosofis telah menyebabkan pergeseran dalam pendidikan, dan fonik telah jauh dari model yang digunakan. Masalah dimulai dari guru dan sekolah sebagai media dan sarana pendidikan tidak melibatkan siswa dalam penelitian membaca terbaru. Lalu, mereka meninggalkan siswa dalam kesenjangan pengetahuan mengenai perilaku membaca.Padahal,sekolah atau wilayah sudah menyediakan kurikulum atau peraturan seni membaca komprehensif yang baik. Guru memberikan waktu dan melaksanakan program Gerakan Litersasi Sekolah (GLS),bahkan menemukan materinya sendiri, tanpa didukung pengembangan pola belajar dan kurikulum yang koheren untuk mendukung pengajaran membaca yang lebih kompleks. Sementara keahlian dan kreatifitas ditingkatkan, guru juga masih dibebani untuk bekerja sama dan menguji materi pembelajaran kelas yang penuh dengan siswa.
Ketika sekolah menyediakan program membaca untuk guru, serangkaian analogi tingkatanpun perlu diurutkan. Mereka sering memiliki keterbatasan dalam menyusun rencana pembelajaran harian yang sesuai dengan kurikulum yang ada.
Penyediaan fasilitas membaca oleh sekolah perlu pula didukung dengan seperangkat pembelajaran lainnya. Misanya perlu membatasi buku berdasarkan tingkatan kesulitannya, baik dari kesulitan kosa kata, maupun pengetahuan yang terkandung didalamnya.
Pemisahan ini dapat pula dijadikan survey sederhana mengenai jenis buku apa yang paling diminati siswa. Tidak jarang pula sekolah hanya menyediakan buku teks saja tanpa sarana visual. Umumnya siswa sulit mengimajinasikan apa yang mereka baca, sehingga melalui literasi pengetahuan yang ada dalam sebuah buku dapat terserap secara maksimal. Melalui pembelajaran membaca dan visual, otomatis siswa akan tertarik untuk melakukan diskusi dengan guru atau teman sebayanya. Misalnya, informasi mengenai gunung berapi pada pembelajaran teks eksplanasi. Mereka akan berdiskusi mengenai bagaimana gunung api terbentuk dan apa dampak yang akan ditimbulkan.
Untuk memastikan setiap siswa menyerap pengetahuan dari buku yang mereka baca, guru kelas perlu melakukan review melalui literasi siswa diminta menuliskan kembali apa yang telah mereka baca. Selain dapat digunakan untuk mengevaluasi peningkatan kosakata siswa, pola ini dapat digunakan untuk menilai seberapa besar pengetahuan siswa dalam memahami isi buku teks yang mereka baca. Namun sayangnya, praktik ini jarang digunakan dalam kegiatan pembelajaran kelas.
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia menemukan sumber bacaan sesuai dengan topik substantif yang dapat membangun pengetahuan untuk menyatukan materi yang dapat membantu menyelarakan pengajaran dengan standar kesiapan siswa. Hal ini disebabkan pilihan kurikulum dan bahan bacaan siswa yeng terbatas dan hanya menyediakan buku teks, sehingga siswa kehilangan kesempatan berlatih dengan hanya menggunakan buku teks yang dapat mereka akses. Alternatifnya, sekolah harus mampu menyediakan program membaca komprehensif yang tidak hanya fokus pada pengetahuan dasar, melainkan pula membangun kosakata.
Dra. Sulastri
Guru Bahasa Indonesia
SMP Negeri 22 Purworejo