JATENGPOS.CO.ID, – Karakter (akhlak, moral, etika, budi pekerti) bagi sebuah bangsa ibarat ruh bagi manusia. Jika karakternya tidak benar, perilakunya juga tidak benar. Sama halnya ketika bangsa tidak memiliki karakter sebagai jati diri, pada hakikatnya bangsa itu tengah menunggu alat kemusnahan. Membangun karakter bagi sebuah bangsa memerlukan medium yang memiliki daya pengungkit agar karakter itu bisa melekat dan menjadi kepribadian bangsa. Medium yang diakui memiliki daya tahan lama adalah pendidikan. Maka pendidikan menempati posisi penting bagi pembangunan karakter bangsa. Prof.Dr.Nurcholish Madjid merumuskan pendidikan sebagai keseluruhan tingkah laku manusia untuk peningkatan hidup, memperoleh rido dan membentuk manusia berbudi luhur atas dasar iman kepada Allah.
Pembentukan karakter yang seimbang, sehat dan kuat, sangat dipengaruhi oleh proses pendidikan yang bersumber pada budaya bangsa maupun lingkungan. Idealnya agama menginternalisasi ke dalam jiwa anak yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan perkembangan kepribadiannya, yang dimulai sejak anak berada dalam kandungan hingga mendapatkan pendidikan, informal, nonformal maupun formal. Kepribadian yang terbentuk melalui proses pendidikan akan mempengaruhi sikap, perilaku, dan cara berpikirnya. Karena itu, mutu pendidikan agama dan pencapaian prestasi peserta didik tidak bisa begitu saja ditagih lewat tes/evaluasi tertulis (UH,UTS,UN) yang selanjutnya angka tinggi diberikan kepada mereka yang dapat menjawab dengan baik. Pendidikan agama jauh lebih mempunyai muatan kualitatif daripada sekedar hafalan atau kemampuan kuantitatif dalam menjawab pertanyaan tertulis. Mutu dan keberhasilan pendidikan agama mestinya diukur dengan totalitas peserta didik sebagai pribadi yang beragama. Indikator yang mudah diamati, misalnya kebiasaan beribadah, perilaku terpuji dan kesalehan yang ditampilkan dalam keseharian jauh lebih penting dibandingkan dengan pencapaian nilai 9 atau A.
Pada tataran ini guru agama mempunyai peran penting bagi keberhasilan pendidikan agama di sekolah. Hanya dengan menguasai materi pelajaran secara mendalam, guru agama dapat meningkatkan kegiatan mengajarnya menjadi kegiatan mendidik. Selain itu, guru agama dan lingkungan sekolah selayaknya memerankan diri sebagai figur teladan bagi peserta didik. Hubungan formalitas dalam kelas antara guru dan murid tidak akan membuahkan apa-apa, sedangkan keteladanan melahirkan suasana hubungan yang bersifat lebih mendalam. Guru sebagai model/teladan selaras dengan salah satu teori Quantum Learning, yaitu modeling. Teori ini mempercayai bahwa seseorang memerlukan model/figur yang akan memotivasi dirinya mengidentifikasi diri seperti model/figur tersebut. Jika seseorang telah teridentifikasi oleh modelnya, maka apapun yang dilakukan model akan menjadi inspirasi baginya untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan perbuatan dan tindakan model.
Perlunya mengedepankan pendidikan agama sebagai basis pembentukan karakter setidaknya dilandasi dua hal. Pertama, setiap agama memberikan dasar-dasar mengenai moral atau budi pekerti luhur. Agama tidak hanya mengajarkan keimanan dan ibadah, tetapi juga akhlak. Kedua, hingga sekarang tidak atau belum ada teori sosial atau teori pengetahuan yang menyisihkan, apalagi menggantikan, peran agama dalam rangka membangun karakter bangsa yang baik. Dalam konteks ini, kehancuran moral bangsa dapat disembuhkan manakala agama dan pendidikan agama dipertimbangkan sebagai faktor determinan.
Nur Heni Chasanah, S.Pd
Guru SMP Negeri 1 Gondang, Kabupaten Sragen