Sejatinya materi advertisement atau iklan dalam pelajaran Bahasa Inggris merupakan materi yang sangat menarik bagi mereka yang menyukai kedinamisan dan kreatifitas tetapi bisa menjadi materi yang asing dan rumit bagi mereka yang awam dengan dunia periklanan. Sementara, tujuan kurikulum terkini menuntut siswa tidak hanya sekedar mendapat nilai bagus secara akademik tetapi juga terampil mengaplikasikan setiap kompetensi dasar dalam konteks sosial.
Advertisement identik dengan dunia hiruk-pikuk penuh warna dan dinamika yang memerlukan penguasaan beberapa aspek sekaligus, seni, warna, bentuk, tokoh, tata bahasa (Bahasa Inggris), tata letak, keunikan dan kebaruan. Dalam proses pengerjaannya dituntut ketelitian yang tinggi dan cita rasa seni yang baik pada setiap detailnya, sehingga tak jarang materi advertisement membuat siswa jengkel jika belum menemukan ide yang unik untuk membuat iklan yang mengesankan. Materi ini akan menjadi sangat menarik jika siswa mampu menciptakan advertisement dalam bentuk audio-visual, bukan dalam bentuk lembaran kertas semata tetapi memang tidak mudah mewujudkannya. Sering muncul beragam keluhan siswa, dari setting, penokohan, alur cerita, pemilihan produk, bahasa dan yang paling sulit mengkoordinasikan kelompok dalam bagi peran tugas demi untuk mewujudkan sebuah karya advertisement. Proses pembuatan advertisement dalam bentuk audio visual memerlukan waktu cukup lama sehingga beberapa siswa menganggap secara ekstrem dalam tataran tertentu kompetensi dasar yang satu ini tidak penting dan akan sia-sia saja.
Realita di atas tengah dialami penulis ketika mengajar di kelas X IPS 1 SMAN 6 Surakarta. Kelas yang cenderung didominasi oleh siswa yang sangat aktif secara verbal dan fisik. Layaknya nature anak-anak remaja yang kelebihan energi karena sedang berfase mencari jati diri, mereka sangat suka bercerita kepada sekelilingnya. Bahkan ketika penulis memulai materi pelajaran, mereka juga memulai bercerita, kadang mereka berjalan ke sana dan ke mari. Sisi positif kelas ini tidak terdapat siswa yang tidur, rerata mereka hanya cenderung aktif secara verbal. Kelas ini berkomposisi 70 persen aktif secara verbal, 20 persen tekun menyimak dan sisanya pasif. Dengan kondisi demikian sudah tidak mungkin mengajar dengan gaya ceramah apalagi dengan materi advertisement, yang terjadi justru saingan produksi suara antara penulis dan siswa. Pendek kata penulis versus para siswa.
Namun demikian, tidak boleh menjadi alasan bagi guru untuk menyalahkan siswa dan kondisi kelas, karena sejatinya tugas gurulah menemukan pendekatan yang efektif untuk mengatasi setiap kesulitan di kelas. Sebagaimana yang dikembangkan dalam Collaborative Learning (MacGregor,1992), metode ini sangat tepat diimplemantasikan pada kelas yang over-active seperti X IPS 1 SMAN 6 Surakarta. Metode ini juga diaminkan Gerlach (1994). Dalam metode ini mengadopsi student center, sehingga siswa dapat 1) menggabungkan informasi dan menghubungkan pengetahuan baru pada sebuah kerangka pengetahuan utama, 2) tertantang untuk membuka pintu-belajar bagi teman-temannya dan berproses menyintesakan informasi daripada hanya sekedar menghafal dan melupakanya lagi, 3) mendapatkan manfaat ketika mengekspos perbedaan sudut pandang dari teman-teman yang berlatarbelakang berbeda, 4) menumbuhkan lingkungan-sosial dalam percakapan. Dalam tahap dinamika intelektual ini, siswa menciptakan sebuah kerangka pikir dan makna diskusi, 5) tertantang emosi dan sosialnya ketika mereka mendengar perspektif berbeda, dan terlatih mengartikulasikan argumentasi ide mereka.
Dengan konsep belajar seperti di atas, proses pembuatan advertisement dalam bentuk video mini terasa menyenangkan karena sangat sesuai baik dari karakter materi kompetensi dasar maupun karakter siswa di kelas X IPS 1 SMAN 6 Surakarta. Setiap siswa mendapatkan perannya. Hal-hal yang mereka tidak sadari, energi mereka yang berlebihan terpakai sudah dalam pembuatan proyek mini advertisement. Proses pengambilan gambar di luar ruangan kelas menjadi salah satu solusi dari perilaku mereka yang suka jalan-jalan di dalam kelas. Demikian juga proses take dan cut dalam perekaman audio visual menjadi solusi perilaku mereka yang over verbal. Proses kolaborasi dan tujuanpun belajar tercipta.
Di akhir tahap proyek mini membuat iklan dalam bentuk audio visual, setiap kelompok wajib menayangkan karyanya. Momen inilah yang paling menarik dan menjadi obat kerja keras mereka. Menyaksikan peran mereka masing-masing dalam karakter iklan yang sangat menarik di depan kelas dan disaksikan teman-teman mereka bahkan juga lintas kelas, membuat mereka tertawa dan senang, seakan lupa keluhan mereka ketika awal proses membuat iklan mini tersebut. Nilai ideal tercapai, konteks sosial tercapai. Keterampilan menciptakan iklan yang mengesankan seperti yang tayang di layar kaca, youtube dan videotron, bukan mimpi dan bukan materi kompetensi dasar yang sia-sial lagi.
Atik Astrini, S.Pd., M.Ikom
Guru Bahasa Inggris SMA Negeri 6 Surakarta