Mistikisme Suruh, Sadak, dan Kinang Dalam Upacara Tradisional Jawa

Pahdani Triastuti, S.S, M.Pd SMA NEGERI 3 WONOGIRI
Pahdani Triastuti, S.S, M.Pd SMA NEGERI 3 WONOGIRI

Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan. Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dapat dimiliki oleh warga masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme  tertentu dalam tiap masyarakat untuk mempelajari kebudayaan.

Kebudayaan tersebut mengandung norma-norma serta nilai-nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Sikap mematuhi norma serta menjunjung nilai-nilai itu penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat.

Definisi mistikisme, menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld).

Berdasarkan arti tersebut mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistikisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistik (misal ajarannya berbentuk rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya.

iklan
Baca juga:  Role Playing Tingkatkan Kompetensi Pemanduan Wisata

Ajaran dan sumbernya subyektif, selain serba mistik, ajarannya juga serba subyektif  tidak obyektif. Tidak ada pedoman dasar yang universal dan yang otentik. Bersumber dari diri pribadi tokoh utamanya sehingga paham mistik itu tidak sama satu sama lain mesti tentang hal yang sama. Sehingga pembahasan dan pengamalan ajarannya tidak mungkin dikendalikan atau dikontrol dalam arti yang semestinya.

Tanaman suruh (daun sirih) termasuk tanaman yang dianggap sakral. Karena setiap ritual Jawa, sering menggunakan suruh. Maka suruh sering dinamai ubarampe (sesajen). Daun suruh, sering diartikan seperti dengan kata sirih, sareh, dan sedhah. Sirih berarti nyuda (mengurangi), kemudian menjadi sesirik / nglakoni (melakukan) mengurangi hawa napsu. Sareh, berarti pelan-pelan asal selamat. Sedangkan kata sedhah sebagai ragam krama inggil dari suruh.

Jaman nenek moyang, suruh memang hanya sebagai ubarampe untuk  menjaga kesehatan badan, khususnya kesehatan gigi. Suruh sebagai bagian dari bahan-bahan untuk nginang (menggosokkan suruh pada gigi) fungsinya agar gigi tidak mudah tanggal dan kuat.

Baca juga:  Modeling Tingkatkan Keterampilan Membaca Puisi Karya Sendiri

Suruh sering untuk ubarampe tradisi Jawa (manten, sadranan, supitan) maka dipilihlah suruh ayu/sedhah ayu. Ayu, dari kata hayu (rahayu), slamet. Artinya jauh sirih yang tidak cacat, warnanya hijau pupus ngelayoni (bunga yang sudah layu). Suruh menjadi perlambang rasa ingin mengetahui keberadaan keselamatan duniawi itu. Suruh, berarti bahwa yang melakukan tradisi segera ingin mengetahui segala isi dunia Memayu Hayuning Bawana yang berarti hidup akan tentram bahagia.

Suruh apabila digunakan dalam ubarampe manten (upacara adat pernikahan), temu rose (bertemunya antar tulang daun) menjadi simbol bertemunya rasa, cipta dan karsa antara pengantin laki-laki dan perempuan. Maka dalam bahasa jawa pengantin berdua dicandra (digambarkan) ‘pindha suruh lumah lan kurebe, yen dinulu beda rupane yen ginigit padha rasane’. Suruh (daun sirih), sadak (batang sirih), dan kinang memang simbol mistikisme kejawen tulen. Suruh itu gambaran dari sebuah karsa (karep, greget), sadak (rasa asmara), dan kinang (ciptaning ati).

Baca juga:  Belajar Matematika Inovatif, Berkualitas dengan PjBL

Pahdani Triastuti, S.S, M.Pd

SMA NEGERI 3 WONOGIRI

iklan