Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa menjalin kerjasama dengan sesamanya. Kerjasama yang dijalin merupakan bentuk perwujudan naluri setiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia agar dapat menyampaikan gagasan atau keinginannya kepada orang lain ketika melakukan interaksi sosial, mutlak memerlukan suatu alat yang tepat. Alat yang dapat digunakan sebagai pengungkap gagasan tersebut adalah bahasa.
Menurut Adisumarto (1985:13-15), bahasa sebagai alat komunikasi sosial dapat dibedakan menjadi 2, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Di antara kedua jenis bahasa tersebut, yang lebih mudah digunakan sebagai alat komunikasi adalah bahasa lisan. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor yang menyertai bahasa lisan seperti faktor situasi, intonasi kalimat, dan gerak tubuh penutur yang dapat memperjelas maksud tuturan. Selain itu, komunikasi yang dilakukan menggunakan bahasa lisan biasanya diungkapkan secara spontan, sehingga gejala perasaan penutur seperti rasa gembira, marah, sedih dan sebagainya akan segera diketahui oleh lawan bicaranya.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, tingkatan sosial masyarakat masih menjadi salah satu tolak ukur dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Tingkatan sosial tersebut menimbulkan pemakaian bahasa yang berbeda sesuai dengan tingkatan penuturnya atau disebut unggah-ungguh basa. Menurut Nurhayati (dalam Mulyana, 2008: 29) unggah-ungguh basa adalah sebuah tatanan yang mengatur bagaimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain secara layak. Layak yang dimaksud adalah pantas atau sesuai dengan kondisi penutur, situasi tutur, dan hal yang dituturkan. Menurut Hardyanto dan Utami (2001: 47) unggah-ungguh basa atau tingkat tutur bahasa Jawa pada dasarnya ada 2 macam, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko meliputi ngoko lugu dan ngoko alus. Ragam krama meliputi krama lugu dan krama alus.
Dengan banyaknya tingkat tutur dalam unggah-ungguh basa Jawa, menjadikan salah satu penyebab siswa di SMP Negeri 5 Randudongkal Kabupaten Pemalang mengalami kesulitan dalam memahami materi unggah-ungguh Basa Jawa. Untuk membantu siswa dalam memahami materi tersebut, guru dapat menggunakan model pembelajaran Role Playing atau bermain peran. Menurut Uno (2007: 25-26) teknik bermain peran yaitu sebagai model pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa menemukan jati diri di dunia sosial dan memecahkan masalah dengan kelompok. Melalui bermain peran siswa menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Hal ini akan bermanfaat bagi siswa pada saat terjun kemasyarakat kelak. Dalam model ini siswa dilibatkan secara langsung dalam simulasi bermain peran secara berkelompok sehingga memudahkan siswa untuk berkomunikasi sesuai dengan unggah-unggguh basa jawa. Siswa secara berkelompok bermain peran dengan cara berbicara secara bergantian sesuai unggah-ungguh basa dengan aspek pocapan, polatan dan tindak tanduk di depan kelas. Dalam model pembelajaran ini, kelompok yang tidak tampil akan mendiskusikan dan mengomentari penggunaan basa yang ditampilkan dengan memperhatikan siapa yang berbicara, kepada siapa dan siapa yang dibicarakan. Setelah seluruh kelompok bermain peran, pembelajaran diakhiri kegiatan refleksi tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Model pembelajaran Role Playing diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada materi unggah-ungguh basa. Pembelajaran dengan model role playing dapat meningkatkan keterampilan berbicara sesuai dengan unggah-ungguh basa jika langkah-langkah atau prosedur diimplementasikan secara benar. Model ini digunakan agar siswa lebih cepat menguasai percakapan yang ada karena mereka akan terlibat langsung dalam kegiatan berdialog. Siswa diharapkan menjadi lebih mudah memahami arti dari kalimat atau tingkat tutur yang mereka ucapkan.
Oleh :
AGHUSY SHOLEH M.U., S.Pd.
Guru SMP Negeri 5 Randudongkal
Kabupaten Pemalang Jawa Tengah