JATENGPOS.CO.ID, – Masih lekat dalam ingatan betapa merana guru Budi yang harus meregang nyawa di tangan siswanya sendiri di Sampang Madura. Belum habis air mata mengalir sudah disambung peristiwa marahnya seorang siswa kepada Kepala Sekolah hanya karena ditegur sampai – sampai videonya menjadi viral. Benar sebuah keprihatinan. Disaat selalu didengungkan tentang pendidikan karakter , kenyataan di lapangan justru banyak kejadian bertolak belakang dengan harapan. Masih banyak kejadian premanisme di sekolah. Apa yang salah dengan semua ini ?
Pendidikan di Indonesia telah direncanakan dengan baik dimulai dari perencanaan 8 Standar Nasional Pendidikan ( SNP ) kemudian dilanjutkan proses pelaksanaan pendidikan. Sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan guru berperan aktif dalam pelaksanaan pendidikan yang diharapkan mampu mendidik dan mengajar dengan maksimal. Pada kenyataannya guru dikejar waktu untuk menyelesaikan materi yang telah ditetapkan dalam silabus, sehingga tidak jarang guru terpaksa meninggalkan aspek psikologis siswa yang butuh perhatian dan kasih sayang. Bagi siswa yang mampu mengikuti pelajaran dengan baik, tidak menjadi masalah . Akan tetapi bagi siswa yang tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik, bisa menumbuhkan pesimisme. Tumpukan materi yang tidak dipahami dan prestasi yang tidak maksimal menjadikan timbulnya rasa rendah diri. Jika tidak segera dibenahi dan berlangsung berlarut – larut siswa akan tertekan dan timbul ledakan emosional.
Ledakan emosional harus dihindari, karena dapat menimbulkan sikap premanisme muncul ke permukaan. Marah- marah, bicara keras, menetang bahkan yang lebih parahmelakukan perusakan. Sifat tersebut jika dibiarkan akan menjadi permanen,gampang terpicu sehingga membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 111 tahun 2014 yang mengatur tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Menengah , guru Bimbingan Konseling mendapatkan kesempatan masuk dalam kelas yang menjadi naungan konselornya. Siswa yang mendapat kesulitan dalam belajar ataupun gangguan emosional dapat segera ditangani dengan baik. Dengan menggunakan sistem pendidikan berbasis kasih sayang, diharapkan guru BK mampu menjadi sahabat, guru sekaligus menjadi pengganti orang tua di sekolah.Dengan mengedepankan layanan prima, ledakan emosional siswa yang mengundang sifat premanisme di sekolah dapat dibendung dan dialihkan menuju hal yang positip.Perlu diyakini bahwa pada dasarnya tiap individu memiliki potensi positip, hanya saja belum dikembangkan secara optimal.
Penguraian masalah siswa melalui konseling berkelompok menjadikan siswa tidak merasa sendiri dalam menyelesaikan masalah. Siswa merasa terdampingi secara fisik maupun emosional sehingga muncul rasa nyaman di sekolah. Kenyamanan siswa disekolah diharapkan mampu mendongkrak prestasi awal yang belum maksimal. Meskipun terkesan luas layanan guru BK bukan tidak tak terbatas, karena dalam pelaksanaan kegiatan konseling, BK wajib melibatkan wali kelas, guru mata pelajaran dan orang tua.Keputusan dalam layanan yang diberikan merupakan hasil rembug dengan warga sekolah yang terkait. Jadi diharapkan keputusan yang nantinya diambil tidak berat sebelah dan tetap mempertimbangkan hak yang harus diterima oleh siswa.
Pendidikan di sekolah tidak akan berhasil jika hanya berhenti di sekolah saja, perlu adanya kerjasama dengan pihak keluarga siswa di rumah. Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,Linda Amalia Sari Gumelarmenegaskan bahwa pendidikan kasih sayang di rumah sangatlah penting untuk meminimalkan kekerasan yang terjadi pada anak anak dan perempuan. Dengan kasih sayang anak jadi santun pada orang tua, siswa menghormati guru, dan yang muda menghormati orang yang lebih tua. Dengan berbasis pendidikan kasih sayang berkesinambungan dan kerjasama yang baik antara keluarga dan sekolah kita sukseskan pendidikan di Indonesia.
Dewi Handayani, S.Pd
Guru SMP Negeri 37 Semarang