JATENGPOS.CO.ID, – Isu tugas akhir pengganti skripsi kini sedang menjadi trending topic di berbagai diskusi akademik. Dikeluarkannya Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi tentang bentuk tugas akhir selain skripsi menjadi pro dan krontra di dunia akademik. Beberapa perguruan tinggi menganggap hal itu sebagai sebuah peluang, namun ada pula yang menganggap sebagai sebuah hambatan. Beberapa perguruan tinggi menganggap bahwa adanya berbagai kemungkinan bentuk tugas akhir memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk berkreasi dan berinovasi sesuai dengan bakat dan minat masing-masing sehingga mahasiswa bisa menyelesaikan tugas akhir tepat waktu dan berkualitas. Namun begitu sebagian akademisi menganggap bahwa skripsi merupakan bentuk tugas akhir yang paling tepat sebagai pertanggungjawaban secara akademik bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studinya di tingkat sarjana, dimana mahasiswa menulis ide dan gagasan mereka dengan kaidah ilmiah untuk merefleksikan kompetensi yang telah mereka dapatkan selama kuliah.
Skripsi Kurang Applicable, Sekedar Proyek Penghasil Cuan
Bertentangan dengan pendapat sebagian akademisi yang meyakini bahwa skripsi sebagai sarana pertanggungjawababan akademik yang paling tepat, skripsi hanya dianggap sebagai suatu proyek untuk mendapatkan cuan. Hal ini terbukti dengan maraknya calo-calo pembuat skripsi yang memberikan jasa pembuatan skripsi kepada mahasiswa yang malas berfikir dengan system paket, bahkan hal ini datang dari kalangan akademisi sendiri sebagai pekerjaan sampingan. Dari hasil survey diketahui banyak mahasiswa yang memanfaatkan jasa ini. Alhasil marwah skripsi sebagai bentuk pertanggungjawaban akademik telah hilang. Ditambah lagi skripsi yang dibuat asal-asalan hanya dengan copy dan paste dari artikel-artikel tanpa melihat isi dari artikel yang dikutip, semakin memberikan nilai minus pada skripsi.
Lalu tugas akhir seperti apa yang diharapkan untuk dibuat mahasiswa sebagai ujian penutup pada masa studinya sebagai syarat kelulusan? Tentu saja tidak semua tugas akhir bisa dikonversikan senilai skripsi. Skripsi dihargai 6-8 sks dari total beban sks yang harus ditempuh mahasiswa selama studi S1/D4. Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, perguruan tinggi dapat menentukan sendiri bentuk tugas akhir mahasiswanya bisa berupa proyek, prototype atau bentuk lain sesuai karakteristik program studi. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan bahwa kompetensi mahasiswa dalam organisasi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa dapat dikonversi senilai skripsi. Tentu hal ini banyak mengundang kontroversi; apakah soft skill dalam organisasi mahasiswa bisa mewakili kompentensi yang dicapai pada program studinya?
Penentuan jenis tugas akhir atau bahkan menghilangkan skripsi sebagai tugas akhir, tentunya perguruan tinggi perlu merumuskannya dengan bijak dan bertanggungjawab. Bertanggungjawab di sini diartikan bahwa pengganti skripsi tersebut apakah berupa proyek atau prototype memang pantas dan sebanding dengan nilai skripsi serta prosesnya dapat dipertanggungjwabkan yaitu melalui langkah-langkah sesuai prosedur yang ditetapkan serta melalui proses pembimbingan. Jikalaupun skripsi dihilangkan, maka mata kuliah yang dikonversikan harus sebanding dengan bobot skripsi, misal berbagai proyek sebagai output dari berbagai mata kuliah dengan metode Project-Based Learning (PjBL) yang terukur dan mencerminkan kompetensi mahasiswa. Jangan sampai kebijakan ini ditangkap sebagai upaya untuk memudahkan mahasiswa lulus tanpa ada jaminan kompetensi mahasiswa yang diimplementasikan.
“Tugas akhir bisa berbentuk berbagai macam, bisa berbentuk prototipe, proyek, bisa berbentuk lainnya, bukan hanya skripsi, tesis dan disertasi. Keputusan ini ada di perguruan tinggi,” kata Nadiem Makarim dalam Youtube Kemendikbudristek.(*)
Penulis :
Budiati
1. Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang
2. Dosen Sastra Inggris Universitas Ngudi Waluyo