Semua orang pada dasarnya dapat berbicara untuk menyampaikan apa yang menjadi ide atau gagasannya padaorang lain. Akan tetapi tidak semua orang mampu berbicara dengan santun, apa lagi berbicara dengan bahasa Jawa yang jelas menggunakan unggah-ungguh bahasa. Berbicara dengan bahasa Jawa yang santun tidak hanya memperhatikan aspek tutur kata saja,akan tetapi menyangkut juga pada sikap, yang dapat dikatakan sebagai patrap (tidak-tanduk) dan pocapan (pelafalan), Suharti dalam Sarwendah 2013.
Penerapan sopan santun berbahasa yang tampak dalam unggah-ungguh bahasa Jawa yaitu tata cara atau aturan berbahasa yang memperhatikan hubungan sosial, mitra tutur, dan orang yang dibicarakan. Ini diperhatikan agar terjalin pergaulan dengan orang lain akrab, pengertian, hormat-menghormati sesuai adab budaya Jawa yang berlaku. Ketrampilan berbahasa seperti itulah yang diharapkan dari hasil pembelajaran bahasa Jawa di sekolah. Sehingga unggah-ungguh basa dalam pembelajaran bahasa Jawa tingkat SMA tersirat dalam semua materi dari kelas X semester 1 sampai dengan kelas XII semester 6.
Akan tetapi pada kenyataannya siswa-siswi sebagai generasi penerus enggan menggunakan bahasa Jawa. Setelah beberapa siswa ditanya dengan kurun waktu yang berbeda, mereka menjawab takut salah unggah-ungguhnya jika mereka menggunakan bahasa Jawa. Mereka sejak kecil tidak dibiasakan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa, tetapi menggunakan bahasa Indonesia bahkan ada yang menggunakan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sehingga bahasa Jawa sendiri menjadi asing bagi mereka. Orang tua beralasan mengajari bahasa Indonesia dan bahasa asing agar putra-putri mereka pandai dalam mengikuti pelajaran jika kelak sudah sekolah. Maka jangan heran jika generasi muda sekarang banyak yang pandai namun tidak sopan dalam bertutur kata. Mereka hanya mengenal di sekolah sebagai salah satu pelajaran Muatan Lokal.
Sebagai guru bahasa Jawa di SMA Negeri 2 Brebes, penulis mengharapkan peserta didiknya mampu menggunakan bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa yang benar. Maka setiap bertegur sapa, terutama di sekolah, dan khususnya pada hari Kamis yang merupakan hari Bahasa Jawa, peserta didik supaya menggunakan bahasa Jawa. Dapatkah bertegur sapa dengan bahasa Jawa ini meningkatkan kemampuan sisiwa menggunakan bahasa Jawa sesuai unggah-ungguh basa yang benar ?
Tegur sapa ini merupakan salah satu contoh komunikasi lisan dalam kehidupan sehari-hari.Tegur sapa adalah perkataan untuk menegur (mengajak bercakap-cakap dan sebagainya). Tegur sapa (move) pada intinya adalah suatu pernyataan awal seseorang untuk dapat melakukan komunikasi dengan orang lain. Tujuan dari tegur sapa tersebut tidak lain adalah agar seseorang lawan bicara yang akan kita ajak berkomunikasi tersebut dapat merespon apa yang kita sampaikan. Contohnya jika kita bertemu bengan orang yang kita kenal maka kita mengucap salam. Sugeng enjang(Selamat pagi), Sugeng siang (Selamat siang), sugeng sonten(Selamat sore), sugeng ndalu(Selamat malam). Jika kita yang disapa, maka kita menjawabnya dengan kata-kata yang sama. Bisa juga kita menanyakan keselamatan, dengan sapaan Sugeng Eyang/Pak/Bu/Mas/Mba,kados pundi pawartosipun.Ini adalah sapaan untuk menanyakan keselamatan dan kabar. Jika kita yang disapa terlebih dulu maka kita harus ingat bahwa untuk diri sendiri tidak boleh menggunakan unggah-ungguh krama inggil, tapi menggunakan krama madya. Demikian juga jika kita bertegur sapa dengan pedagang.Bu tumbas.Pedagang yang paham unggah-ungguh basa Jawa biasanya menjawab : Badhe mundut menapa. Kita jangan sampai menjawab : Badhe mundhut…….karena mundhut termasuk krama inggil.
Pada mulanya peserta didik kurang percaya diri menggunakan bahasa Jawa. Mereka takut keliru unggah-ungguh basanya. Namun ketika disampaiakan syarat nilainya tuntas harus mau menggunakan bahasa Jawa ketika diajak bertegur sapa, atau ijin saat pelajaran bahasa Jawa. Salah tidak apa-apa, yang penting peserta didik punya kemauan menggunakan bahasa Jawa. Jika tidak ada kemauan, pastilah tidak dapat diketahui benar atau salah unggah-ungguh basa Jawa yang mereka gunakan. Mereka mau menggunakan bahasa Jawa untuk bertegur sapa, sehingga akhirnya unggah-ungguh basa mereka pahami. Bahkan sekarang mereka merasa perlu menggunakan bahasa Jawa nuwun sewu ketika mau bicara dengan guru, walaupun bukan guru bahasa Jawa. Ternyata peserta didik jika dibiasakan bertegur sapa menggunakan bahasa Jawa akan merasa menghormati guru.
Keterangan tersebut membuktikan bahwa peserta didik masih mau menggunakan bahasa Jawa walaupun dalam komunikasi pendek. Jika keliru menggunakan unggah-ungguh basa hendaknya jangan langsung disalahkan. Keraguan pesertadidik terhadap kelirunya unggah-ungguh basa dapat diperbaiki karena sering bertegur sapa dengan bahasa Jawa.
Satiwi Undi Jati, S.S.
SMA Negeri 2 Brebes