Jawa Tengah Menjadi Provinsi Rawan Korupsi

Bambang Widjojanto saat memberikan materi dalam Seminar Anti-Korupsi bertema "Pemerintahan yang Bersih Menuju Percepatan Pembangunan" yang digelar di Eden Internastional Daily Food, Jalan Dr Wahidin, Semarang, Minggu (15/4). FOTO:AHMAD KHOIRUL ASYHAR/JATENG POS

JATENGPOS.CO.ID. SEMARANG – Tingkat korupsi di Jawa Tengah merupakan salah satu yang tertinggi di Indonesia. Sebagai daerah yang bisa dikatakan “Jantung Indonesia”, predikat daerah darurat korupsi harus disikapi dengan cepat dan tegas, khususnya pengentasan kesmiskinan. Pasalnya masifitas kemiskinan di Jawa Tengah berbanding lurus dengan tingginya praktik korupsi.

“Jawa Tengah itu darurat korupsi. Hampir semua Kabupaten/Kota di Jawa Tengah ada korupsinya. Itu dilihat dari dua hal, pertama dari angka-angka atau data yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga seperti KP2KKN, ICW, hingga lembaga penegak hokum,” ujar Bambang Widjojanto dalam Seminar Anti-Korupsi bertema ‘Pemerintahan yang Bersih Menuju Percepatan Pembangunan’ Minggu (15/4).
Dari angka-angka itu Jawa Tengah korupsinya tinggi. “Kedua adalah adanya kesalahan paradigmatik dalam memahami korupsi sehingga dampak korupsi berlangsung terus-menerus,” kata Bambang Widjojanto.

Mantan komisioner KPK tersebut menjelaskan, kesalahan paradigmatik pertama, kasus korupsi dilihat dari perspektif pengelolaan keuangan negara atau daerah saja bukan pada penerimaan keuangan negara atau daerah. Kesalahan kedua adalah tidak memperhatikan sektor- yang menyangkut kemaslahatan masyarakat secara langsung seperti ketahanan pangan.

“Kalau kita tidak memahami dan mengetahui problem korupsi yang berkaitan hajat hidup orang banyak, maka apa yang kita lakukan tidak menyentuh pada real problem atau fundamental problem. Akibatnya dampak korupsi itu akan berlangsung terus,” jelasnya.

Salah satu contoh dampak korupsi yang berlangsung secara terus-menerus adalah persoalan kemiskinan. Bambang Widjojanto menyebutkan angka kemiskinan di Jawa Tengah berada di atas rata-rata angka kemiskinan nasional. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak meningkat meski dari segi jumlah naik tetapi secara persentase terus menurun.
“Ini menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam menuntaskan kemiskinan akibat korupsi tidak efektif dan efisien. Semoga ini menjadi pembelajaran ke depannya,” ungkap Ketua Komite Pencegahan Korupsi dan dosen Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti tersebut.

Sementara itu akademisi bidang hukum Undip, Suteki, mengatakan, persoalan leadership merupakan salah satu upaya agar pemberantasan korupsi dan percepatan pembangunan dapat berlangsung baik. Seorang pemimpin harus menjadi panutan dan tokoh bagi masyarakat.
“Kita butuh pemimpin yang religius, apa pun agamanya. Kita harus kembali kepada sila pertama dan memantapkan Pancasila sebagai dasar. Itu karena di negara kita tidak kurang perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi tetapi tingkat korupsi masih tinggi,” jelasnya. (har/sgt/muz)