JATENGPOS.CO.ID, – Identitas adalah jati diri yang terkadang dirasakan sebagai sesuatu yang sangat misterius. Identitas tidak dapat ditemukan atau dipahami tanpa menggali asal usulnya. Perlu sebuah penggerak yang dapat mengupas identitas. Bahasa kerapkali dihubungkan dengan identitas karena berbahasa mengulik dan membuka identitas dengan mendalam. Terutama ketika orang berbicara atau menulis untuk mengemukakan pendapatnya. Identitasnya dapat lebih mudah dipahami dari jenis kata-kata yang dipilih dan diucapkan. Identitas disini bukanlah apa dan siapa, melainkan sebuah kesadaran individu akan pentingnya memelihara sebuah integritas diri. Berbahasa merupakan perumusan sikap diri dan menjadi dilematis ketika digunakan sebagai alat exploitasi penyampaian pikiran.
Penggunaan teknologi dengan gawai terkini telah menjadi acuan terutama bagi masyarakat Indonesia. Ada banyak jenis gawai yang beredar di pasaran. Seluruh kalangan masyarakat sangat akrab dengan penggunaannya. Gawai memberikan banyak solusi yang efisien untuk pemecahan masalah sehari-hari. Bahkan disaat seseorang resah dalam permasalahan pribadi, tumpahan curahan hatinya di akun sosial media pribadinya bisa jadi solusi tercepat baginya. Semakin aktif di media sosial, semakin UpToDate. Kesempatan menjadikan seseorang viral itu juga mudah. Namun, hal ini mengundang banyak tanggapan dan menjadikan mereka terus berinteraksi di dunia maya. Maka banyak orang yang sudah menghabiskan lebih banyak waktunya menggunakan gawai setiap hari. Terbukti dalam artikel detik.com, data.AI menunjuk pada laporan State of Mobile 2024 bahwa Indonesia menjadi negara terlama menggunakan mobile phone, menjadikannya peringkat nomor satu dibanding negara-negara lain. Waktu yang digunakan mencapai 6,05 jam per harinya. Sehingga dapat dikatakan masyarakat Indonesia sebenarnya sudah menyia-nyiakan waktunya menggunakan gawai.
Hidup di jaman teknologi yang modern saat ini memberikan tantangan dalam berbahasa. Salah satu yang menarik perhatian masyarakat kita adalah penggunaan media sosial. Banyak hal baik yang didapat dengan menggunakan fungsi sosial media untuk memperoleh informasi positif yaitu perluasan wawasan, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Namun, media sosial memberikan kebebasan berpendapat dan berbicara tanpa batas. Informasi yang diterima pun tak terbatas. Berpendapat di media sosial pun sangatlah mudah. Dari jejaring Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, hingga website-website yang sudah difasilitasi dengan kolom komentar. Subyektivitas dan ketidaksukaan terhadap apa yang tertulis mudah sekali disampaikan. Maka dampak negatif juga dapat muncul jika masyarakat tidak memiliki kemampuan literasi yang mumpuni dalam meresponnya.
Tanpa kesadaran akan pentingnya kemampuan menganalisa yang benar, kemampuan literasi masyarakat nampaknya tergolong rendah. Contoh lainnya adalah, banyak orang dengan cepat terpengaruh hoaks. Tidak dapat meredam berita bohong tersebut justru dapat menyebarluaskan dan membahayakan pihak lain. Mudah sekali terjadi dengan menggunakan perangkat digital, bukan lagi dari mulut ke mulut, tapi gerakan jari ke jari dalam hitungan detik saja. Bisakah hal ini diantisipasi? Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menangani lebih dari 1615 kasus hoaks sepanjang tahun 2023. Jumlah kasus hoaks ini bisa ditekan seandainya masyarakat Indonesia memiliki literasi baik. Hoaks hanya dapat diminimalisir melalui kemampuan literasi yang tinggi.
Literasi berkaitan dengan kemampuan menggunakan bahasa secara kritis, memahami apa yang ingin dikomunikasikan dan diolah dalam proses berpikir kita. Kita pun harus memahami apa yang hendak disampaikan melalui proses berpikir analitik. Maka dalam kemampuan literasi digital haruslah terkait pada pemahaman fungsi alat dan pemahaman ideologis yang tertera baik secara explisit maupun implisit dalam suatu fenomena yang sedang terjadi. Apa dampak yang paling buruk jika tingkat literasi rendah pada penggunaan fungsi digital? Masyarakat bisa jadi ahli menggunakan gawai, tapi memahami makna informasinya, dalam arti tidak diartikan secara harafiah, perlu dipertanyakan. Inilah fenomena yang terjadi di Indonesia. Indonesia sedang mengalami krisis literasi besar. Kominfo.co.id menegaskan bahwa masyarakat Indonesia malas membaca tapi cerewet di media sosial pada era post-truth ini. Maksudnya adalah komentar-komentar orang di media sosial itu lebih banyak mengutamakan opini pribadi ketimbang fakta. Banyak yang tidak begitu paham informasi yang di dapat di media sosial dan asal komentar saja. Tidak jarang juga dibarengi respon emosional yang berlebihan. Beropini secara menggebu-nggebu tanpa didasari alur nalar dan fakta yang kuat. Besar kemungkinan hal ini dikarenakan kemampuan literasi masyarakat Indonesia memang rendah yang disebabkan oleh minat baca rendah. Hanya 0,001% menurut data UNESCO. Selain disebabkan oleh minat baca dan kemampuan menganalisa yang rendah, menghabiskan waktu berjam-jam menonton gawai itulah yang mengurangi daya konsentrasi dan kemampuan berpikir (Durant, 2017). Tidak heran bahwa masyarakat kita mudah sekali terbuai dengan berita-berita palsu. Kerja otak menjadi tidak bisa fokus dalam memilah informasi.
Hoaks dan cuitan di sosial media yang tak terbatas adalah konsekuensi kemajuan teknologi. Pola berpikir yang dangkal membawa masyarakat Indonesia menghadapi krisis identitas dalam menghadapi hal ini. Rendahnya minat baca masyarakat tersirat dalam rendahnya kemampuan literasi akibat kurangnya berefleksi diri sehingga tidak dapat membentuk sikap pribadi yang lebih berempatik. Masyarakat harus mempunyai kontrol yang kuat untuk menggunakan gawai sesuai kebutuhan dan lebih cerdas dalam menganalisa fenomena dan permasalahan yang terjadi. Kita hidup di tengah masyarakat yang kaya akan budaya dan keanekaragaman maka diperlukan cara berpikir yang lebih rinci untuk menghindari perpecahan.
Sekarang masalahnya bukan itu saja, rendahnya literasi jadi berpengaruh pada problematika identitas diri yang tidak dapat mengolah informasi. Â Bagaimana tidak? Hal ini menjadikan individu tidak dapat membentuk sikap personal terhadap suatu permasalahan. Jadinya ya hanya ikut-ikutan saja. Tidak ada kemandirian dalam berpikir. Tidak dapat merumuskan kata-kata secara bijak. Jika kemampuan berbahasa dan literasi masyarakat Indonesia ada dalam tingkatan ini, identitas seperti apa yang dimiliki oleh masyarakat kita?
 Kemantapan berpikir dan identitas kita terbentuk dari kontrol diri dan bagaimana mengambil sikap pribadi dari berbagai macam perspektif. Kerja otak kita sangat komplex tapi juga sangat flexibel jika diberikan rangsangan aktivitas yang mengakrabkan kita dengan logika berbahasa. Sederhana saja. Kegiatan itu adalah membaca. Semakin banyak membaca, semakin kritis dan mendalam otak bekerja, namun begitu juga sebaliknya. Menurut Guru Besar Filsafat UNPAR, Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto, kecerdasan dapat dipertajam dengan membaca karena akan membentuk otak secara terus-menerus (neuroplasticity) yang memperbaiki keterampilan berbahasa dan berkomunikasi. Hal ini menata sikap personal. Selain itu membuat kita menjadi lebih fokus dan memikirkan kembali apa yang dipikirkan (metakognitif). Kecerdasan metakognitif ini lah yang membuat kita lebih kritis, evaluatif, dan empatik. Kita sering melihat betapa tidak empatiknya kata-kata yang digunakan dalam berkomentar di sosial media. Tentu bisa kita simpulkan bahwa hal ini dikarenakan oleh rendahnya kemampuan literasi. Kemampuan berkomunikasi dan berbahasa yang baik mengantar kita kepada penyampaian pesan secara lebih diplomatis dan logis tanpa harus mencaci maki. Maka, membaca membutuhkan suatu konsistensi dan bersifat berkelanjutan agar seorang pribadi dapat terus bertumbuh dalam empati dan toleransi.
Ada proses bertumbuh di dalam hidup. Pertumbuhan masyarakat berbarengan dengan pertumbuhan teknologi yang tidak terelakan. Sikap egosentris harus dilawan dalam keterbukaan terhadap perbedaan cara pandang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia maya. Memiliki kemampuan membaca saja tidaklah cukup. Masyarakat Indonesia perlu berani mengambil sikap diri untuk melihat hidup sebagai sesuatu yang hakiki – membentuk identitas bangsa yang kokoh melalui pengembangan kemampuan literasi kritis dengan membaca dan berefleksi.
Nama Penulis : Maria Angraeni
Afiliasi       : Universitas Negeri Semarang
Status              : Mahasiswa S3, Ilmu Pendidikan Bahasa