JATENGPOS.CO.ID, SUKOHARJO – Kebutuhan BBM masyarakat Indonesia mencapai 1,7 juta kilo barel. Sementara Pertamina hanya mampu mencukupi kebutuhan 800 ribu barel per hati. Sehingga Indonesia perlu mengimpor BBM 900 ribu barel per hari untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Artinya sudah mulai krisis BBM.
Hal ini sudah memperlihatkan bahwa sudah saatnya Indonesia beralih dari bahan bakar minyak atau fosil ke bahan bakar alternatif atau energi baru terbarukan (EBT).
“Suatu ketika harga BBM lebih dari 140 USD /liter maka mau tidak mau, siap tidak siap kita harus beralih ke bahan bakar nabati. Biodiesel dan bioetanol merupakan jawaban dari krisis BBM,” kata Prof. Kusmiyati, usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dalam sidang terbuka senat UMS, Sabtu (5/5) di Auditorium M.Djazman UMS, Sukoharjo.
Biodisel dan Bioetanol (biofuel) yang diharapkan dapat mengganti bahan bakar minyak atau fosil masih menghadapi kendala besar berupa harga dan teknologi.
Terkait bahan baku biodisel dan bioetanol, Prof. Kusmiyati mengatakan bisa didapatkan dari limbah pertanian dll. Bahan bakar biodiesel bisa didapatkan dari tanaman minyak sawit, minyak jarak pagar, minyak kedelai dan minyak bunga matahari yang bisa digunakan sebagai pengganti solar.
Sayangnya, harga sumber energi alternatif itu lebih mahal dari solar. Hal yang sama terjadi pada bahan baku bioetanol dari tetes tebu (molases), umbi iles iles, ketela pohon, jagung, bahan baku mufah didapat namun biaua produksi lebih mahal dari BBM bensin.
“Harga (bahan bakar biodiesel dan bioethanol) ditentukan dua hal yaitu bahan baku dan teknologi. Bahan baku yang murah bisa kita dapatkan dari limbah pertanian, tapi kendalanya teknologi yang mengonversi dari limbah yang ada itu sangat sulit dimana kandungan limbah dengan kadar kayu yang sangat keras itu sangat sulit untuk dikonversi jadi bioetanol,” terang Prof. Kusmiyati. (dea/biz/saf)