JATENGPOS.CO.ID, – Generasi muda zaman sekarang, digambarkan oleh sastrawan Taufik Ismail, sebagai generasi nol buku yang rabun membaca dan pincang mengarang. Bisa kita amati bersama bahwa konser musik dan panggung hiburan selalu diminati oleh masyarakat. Tetapi perpustakaan tak lagi mengundang perhatian alias sepi pengunjung. Data statistik dari BPS 90, 27 % anak sekolah lebih senang menonton televisis daripada membaca. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kemudian pemerintah memasukkan kegiatan literasi dalam kurikulum sekolah di semua jenjang pendidikan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka kepala sekolah kamipun juga ikut memprogramkan gerakan literasi yang dijadwalkan setiap hari selama 10 menit di awal jam pembelajaran pertama. Harapannya melalui penjadwalan ini siswa akan dipaksa untuk membaca yang selanjutnya akan menjadi sebuah pembiasaaan. Program ini tentu saja harus melibatkan para guru yang mengajar jam pertama untuk ikut mendampingi siswa melakukan kegiatan literasi.
Sebagai sorang guru yang juga sering mendapatkan jatah jam mengajar di jam pertama, saya mencoba berinovasi dengan membuat sebuah kegiatan yang bisa menunjang kegiatan literasi agar tidak berjalan monoton dan membosankan. Program ini saya beri nama program baca, tulis, bicara yang saya singkat menjadi BATUBARA. Program ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan minat membaca tetapi juga menumbuhkan budaya menulis dan berbicara..
Dalam program BATUBARA ini awalnya para siswa diwajbkan untuk membaca sembarang buku. Boleh buku pelajaran, novel, buku cerita, ataupun yang lainnya. Boleh milik sendiri, boleh juga meminjam di perpustakaan. Kemudian isi buku yang telah mereka baca, ditulikan kembali dengan menggunakan kalimat mereka sendiri di buku khusus untuk kegiatan literasi. Setelah itu, siswa secara bergiliran diberikan kesempatan untuk mengungkapkan secara lisan di depan kelas isi bacaan yang telah mereka tulis di buku khusus literasi. Harapannya, setelah mendengar isi bacaan dari teman, biasanya siswa yang berperan sebagai pendengar akan menjadi penasaran tentang isi buku yang diceritakan tersebut, sehingga mereka terdorong untuk membacanya sendiri.
Untuk memastikan program ini berjalan sesuai harapan, maka diperlukan alat kontrol yang bisa digunakan untuk mengecek keefektifan program ini. Kontrol yang pertama dilakukan oleh guru yang mengajar di jam pertama, dengan cara mengkoreksi buku literasi dari masing-masing siswa dan memberikan paraf sebagai tanda apresiasi terhadap usaha siswa. Kemudian setiap hari Kamis, buku khusus literasi ini dikumpulkan secara kolektif untuk diperiksa oleh bagian kesiswaan. Dengan melakukan hal-hal tersebut, diharapkan semua pihak menjadi terlibat untuk ikut mensukseskan program literasi.
Pada dasarnya, untuk menunjang kegiatan literasi ini, sekolah tentu saja juga harus dipaksa untuk menambah koleksi buku di perpustakaan. Tujuannya agar siswa menjadi lebih mudah untuk mendapatkan bahan bacaan dengan meminjam buku di perpustakaan. Bahkan sekolah juga harus dipaksa untuk berinovasi dalam menyajikan gaya perpustakaan selayaknya toko swalayan. Dimana siswa dapat memilih buku yang mengenyangkan dengan cara menyenangkan. Koleksi buku harus ditambah tak hanya secara kuantitas tetapi juga secara kualitas. Jika perpustakaan mampu menyediakan beragam menu yang menarik, secara otomatis selera membaca siswa akan meningkat. Bagi pembaca pemula, buku ringan dengan bahasa yang mudah dipahami lebih menarik perhatian dibanding buku yang sarat pengetahuan tapi membosankan. Selain itu perpustakaan seyogyanya menyediakan beragam jenis buku agar dapat mengakomodir beragam hobi dan minat siswa.
Perlu perencanaan yang matang tentang penambahan koleksi buku di perpustakaan. Oleh karena itu saya mencoba menghadirkan gaya baru dalam program BATUBARA ini. Yaitu dengan menghadirkan hasil tulisan saya sendiri untuk dibaca oleh para siswa. Saya biasa menuliskan kejadian – kejadian ringan yang terjadi setiap hari. Termasuk pengalaman-pengalaman saya selama mengajar di kelas. Tulisan inilah yang kemudian dibaca oleh salah satu siswa di depan kelas dan yang lainnya berperan sebagai pendengar. Kemudian siswa yang membaca di depan kelas maupun yang mendengarkan, akan sama-sama menuliskan kembali isi cerita di buku literasi mereka masing-masing dengan kalimat mereka sendiri. Lalu perwakilan dari salah satu siswa lain akan maju ke depan kelas untuk menceritakan kembali cerita yang telah mereka dengar.
Ternyata cara ini efektif mampu meningkatkan antusias para siswa untuk membaca, menulis dan berbicara. Setiap harinya mereka tidak sabar menantikan tulisan saya untuk dibaca di depan kelas karena tokoh utama dalam tulisan saya biasanya adalah para siswa itu sendiri. Selain buku, ternyata tulisan saya pun bisa juga digunakan untuk merehabilitasi para siswa dari derita rabun membaca dan pincang mengarang. Sehingga budaya literasi semakin bertumbuh di kalangan para siswa.
Fadlilah Maulani,
Guru SMKN 3 Kendal