JATENGPOS.CO.ID, SEMARANG – Puluhan akademisi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menyampaikan pesan politik kepada para pasangan calon gubernur Jateng yang akan berkompetisi di Pilgub Jateng 2018. Kondusifitas Jateng harus dijaga dari isu provokatif yang menimbulkan gesekan sosial.
“Kondusifitas harus dijaga, apalagi Jateng itu majemuk, potensi terjadi keos di Jawa Tengah sangat besar, terutama kalau ada politisasi agama atau agamisasi politik,”pinta M.Adnan, dosen Fisip Undip Semarang.
Hal itu disampaikan M Adnan dalam diskusi ‘Pemilihan Gubernur Jateng 2018’ di Rektorat Undip Semarang, Rabu (3/1).
Menurutnya, menjadi tugas bersama, teurtama para paslon yang nantinya akan terpilih oleh rakyat untuk memimpin Jateng. Jangan sampai ada pertarungan antar aliran sekte atau politik yang berlatar belakang agama baik selama Pilgub maupun setelahnya.
“Jangan sampai meninggalkan noda sisa politik di pilgub, karena akan berakibat fatal jika masih terjadi gesekan sosial ditingkat bawah,” katanya.
Ia pun menyampaikan, untuk para paslon yang akan terpilih menjadi gubernur untuk memperhatikan antara sektor pembangunan berupa investasi dan implikasinya yakni utang.
“Investasi di Jateng tidak mudah, isu relokasi kawasan industri dari Jawa Barat dan DKI yang a pernah didengungkan dibawa ke Jateng tak ada realisasinya,” ungkapnya.
Hal itu akan menjadi pekerjaan rumah bagi gubernur yang terpilih. Selain itu, gubernur terpilih juga harus memikirkan beban utang akibat adanya investasi yang akan ditanamkan di Jateng.
Sementara, calon gubernur Jateng Sudirman Said menyatakan siap membenahi Jateng. jika terpilih sebagai gubernur, dia akan menyumbangkan ide-ide segar seperti ekpose pada tiga sektor yakni pemerintahan, korporasi, dan pergerakan civil society.
“Masukan dari akademisi penting, saya akan mendengarkan pandangan dari para ahlinya,” katanya.
Jika terpilih juga, Sudirman akan berperan aktif untuk mengkoneksikan pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Karena disitulah letak kompetisi untuk mendapatkan proyek-proyek strategis dalam pembangunan Jatwng.
“Gubenur itu bukan atasan bupati atau walikota, tapi sebagai dirigen dari suatu orkestra yang harmoni, tinggal bagaimana merangkai aspirasi dari Bupati atau Walikota,” ungkapnya.
Pola komunikasi juga akan dibangun antara gubenur dengan bupati walikota dengan mengedepankan sikap rendah hati.
“Karena dengan dengan rendah hati akan ada rasa hormat dan menghormati sehingga peningkatan kerjasama yang baik antara pemimpin provinsi dengan Kabupaten/Kota akan terjalin baik,” pungkasnya. (aam/udi)