JATENGPOS.CO.ID, MAKKAH – Kritik pelayanan haji tahun 2023 sebenarnya tidak hanya “insiden Muzdalifah” yang menggegerkan. Tapi ada yang lebih dari itu. Yakni buruknya pelayanan jamaah haji selama menginap di Mina. Seperti apa?
Bejan Syahidan, wartawan Jateng Pos, dari Makkah Almukarromah, melaporkan, ada empat hal memprihantinkan selama jamaah menginap 3 atau 4 hari di Mina. Pertama, maktab (tenda penginapan) yang tersedia lebih sedikit dari jumlah jamaah haji. Kedua, MCK airnya mati sejak jamaah datang. Ketiga, jatah makan jamaah tidak tersedia sesuai jumlahnya. Keempat, blower (pendingin) maktab sering mati alias tidak berfungsi.
Empat masalah ini yang menimpa hampir semua jamaah haji, khususnya Indonesia. Jamaah lain negara relatif tidak ada masalah.
Untuk maktab misalnya, kenapa antara jumlah jamaah haji dengan tempatnya lebih banyak jamaahnya? Mana mungkin ruangan yang sedianya untuk 350 orang per kloter, tapi kasurnya hanya tersedia 250 orang? Lalu yang 100 orang tidur dimana? Sementara kalau ditambah kasurpun ruangnya tidak cukup. Padahal, kasur yang dimaksud bukanlah kasur seperti di rumah kita. Tetapi matras tipis selebar 30 cm sepanjang orang. Jadi benar-benar hanya pas untuk tidur satu orang. Itupun harus dengan posisi kaki lurus. Jika nekuk sedikit saja sudah kenan badan temanya.
Akibat jumlah kasur lebih sedikit dari jamaah ini, membuat antara jamaah berebut kasur. Tetapi karena tidak ada solusi, akhirnya berbagi kasur. Satu kasur kecil itu ada yang untuk dua orang bahkan tiga orang. Jadi tidak bisa tidur. Hanya duduk-duduk di maktab. Yang penting masuk maktab. Mengingat di luar udaranya sangat panas. Siang hari di Mina suhunya bisa tembus 50 derajat celcius. Sudah begitu, blower AC sering mati. Setelah protes baru dibenahi. Nanti tidak lama mati lagi. Sudah berdesakan. AC nya mati pula.
Sejak datang, jamaah sudah protes ke Ketua Kloter. Tetapi mereka tidak bisa menjawab. Lalu bersama ketua Kloter, jamaah protes kepada Masyariq sebagai penyedia Maktab. Tetapi Masyariq menjawab ya hanya maktab itu adanya. Lalu 100 orang yang tidak kebagian kasur tidur dimana? Masyariq tidak memberi solusi. Hingga malam tiba, akhirnya jamaah yang datang sejak subuh itu terpaksa masuk maktab yang sudah ada isinya. Berdesakan sama jamaah yang sudah lebih dulu dapat tempat. Konflik dengan teman pun tidak terelakkan. Yang sudah dapat tempat tidak mau diganggu, yang tidak dapat tempat pengin masuk maktab karena capek panas dan ngantuk. Terpaksalah mereka berdesakan di maktab selama 3 sampai 4 hari. Padahal setiap jamaah itu membawa tas dan perbekalan. Sehingga maktab penuh sesak. Yang tidak mau bertengkar dengan temanya, memilih tidur seadanya di luar tenda. Di teras-teras atau gang-gang tenda. Kalau siang duduk-duduk mencari tempat kosong yang teduh. Kalau malam merebahkan badan di lorong-lorong tenda menggunakan kardus.
Oke. Itu masalah maktab. Jamaah berusaha menerima meski tumpuk undung dan tidur di luar tenda. Tetapi sejak datang, air MCK mati. Ada kamar-kamar WC, tetapi airnya tidak mengalir. Akhirnya Masyariq menyediakan air dari selang di ember-ember untuk kebutuhan kencing dan buanh hajat. Setiap jamaah ambil air satu botol minum, lalu dibawa masuk WC, untuk membersihkan kencing atau BABnya. Itu berlangsung sehari semalam. Baru hari kedua air MCK nyala. Namun setelah nyala, malah air pembuangan bocor. Mengalir ke tenda-tenda dekat MCK. Bau tidak enak menyengat kemana-mana. Jamaah yang tendanya kena bocoran akhirnya keluar. Makin banyaklah yang milih tidur di luar tenda. Baru hari ketiga yang nafar awal mau pulang ke Makkah, air MCK mengalir lagi.
Lalu soal makan. Meski tidak semua, banyak jamaah seperti maktab 61 yang setiap hari tidak dapat jatah. Kadang kalau adapun kurang. Kadang malah tidak ada sama sekali. Bahkan sering berebut dengan maktab lain saat jatah makanan datang. Sudah begitu, menunya sangat tidak Indonesia. Tidak ada asin, gurih, manis, dan pedas. Sering jatah makan tidak dimakan jamaah. Padahal untuk mendapatkanya harus rebutan.
Pertanyaanya, kenapa empat hal itu bisa terjadi? Sampai sekarang, tidak ada penjelasan pasti letak masalahnya ada dimana. Diantara jamaah saling bertanya. Terletak di Kemenag RI, atau Masyariq, sebagai pihak penyelenggara lokal? Yang beredar di media, Kemenag menyalahkan Masyariq. Tetapi apa iya, sebagai pelayan, Masyariq berani seceroboh itu? Kan jamaah haji yang diwakili Kemenag sebagai penyewa? Pihak yang punya duit? Jamaah haji yang membeli. Masyariq yang melayani? Dimanapun tempatnya, pembeli adalah raja. Penjual adalah pelayan. Tidak seharusnya, jamaah sudah membayar tetapi haknya diabaikan. Jangan sampai ada kesan, mau uangnya tidak mau memberikan haknya.
Atau karena bargaining Kemenag yang lemah di Saudi? Sehingga hal-hal yang diminta sebagi haknya tidak dipenuhi Masyariq, tetapi tidak mampu mendobrak? Atau Masyarariqnya yang tidak profesional? Memang, tahun ini, pelaksanaan haji sama pemerintah Saudi dipihakketigakan. Yakni diserahkan pihak swasta yang disebut Masyariq itu. Tahun-tahun sebelumnya, haji ditangani langsung pemerintah Saudi. Meski ada plus minus, relatif tidak ada masalah seperti saat ini.
Banyak pihak tidak habis pikir, soal tempat tidur, jatah makan, dll itu kan sangat sederhana. Kita punya uang, lalu pesan makan untuk 230 ribu orang, kan logiknya dilayani sesuai pesanan. Pesan tempat tidur pun sama. Apa sulitnya? Kan mereka dapat order? Sangat ngawur jika ada penjual melayani separo dari pesananya misalnya. Tetapi ini terjadi pada haji 2023.
Memang ada info, maktab Mina itu dari dulu ya sejumlah itu. Sementara jumlah jamaah tarus bertambah. Wajar kalau akhirnya kurang tempat. Tetapi ada kabar, Saudi sudah menambah luasan tanah Mina dengan menyepakati Kawasan Mina Jadi sebagai tanah Mina. Juga sudah dipakai untuk perluasan. Sudah disepakati para ualam juga. Ada yang bilang juga, dari dulu masalah selalu muncul di Mina. Kalau selalu muncul setiap tahun, apakah tidak ada perbaikan? Ini urusan super penting menyangkut ibadah haji. Kenapa tidak ada perbaikan?
Catatan ini juga dimaksudkan untuk Kemenag RI, supaya jadi bahan perbaikan kedepanya. Supaya tidak terus terulang. Yang sudah ya sudah. Tapi yang akan datang harus lebih baik. Apa lagi ini urusan rutin setiap tahun. Jangan menggunakan ayat sabar untuk mengabaikan hak-hak jamaah haji. Memang pelaku haji tidak berani protes, tetapi masalah yang ada tidak mungkin bisa ditutup-tutupi. (*)