JATENGPOS.CO.ID, – Beberapa hari ke depan, Insya Allah kita akan memasuki hari kemenangan bagi umat Islam, yaitu Idul Fitri. Setelah sebulan kita digembleng dengan berbagai ujian ketaatan dan kepatuhan untuk senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pada hari itu seharusnya kita dituntut untuk bisa mensucikan diri dari kealpaan dan dosa. Namun kebiasaan yang terjadi di masyarakat muslim justru sebaliknya pada hari itu identik dengan kondisi kegembiraan yang berlebihan atau disebut dengan “Euforia”. Segala sikap, perilaku, ditumpahkan dalam “life Style” hedonisme dan borjuisme semarak dalam mewarnai “ Makna Idul Fitri”?.
Bagaimana kondisi seperti ini!. Mengacu dari sebuah Al-Hikmah dituturkan bahwa tidaklah dikatakan Id/kembali kepada kesucian itu hanya dengan pakaian baru, namun Id yang sesungguhnya adalah takwa yang bertambah. Sekarang muncul pertanyaan : “ apakah eforia yang muncul dari kondisi masyarakat muslim pada saat menyambut Idul Fitri dengan melakukan pemborosan, expo kekayaan/kemewahan, menumpahkan kegembiraan yang berlebihan, bahkan sering terjadi pada hari itu justru digunakan untuk balas dendam dengan melakukan hal-hal yang terlarang, sebagai realisasi peningkatan takwa!. Ataukah justru sebaliknya terjadi krisis takwa!, karena ironisnya justru kadang pada momen itu sebagian masyarakat muslim bahkan mengabaikan kewajiban yang seharusnya dilakukan, seperti : sudahkan dibayarkan zakat malnya, sudahkah berbagi dengan sanak saudara maupun lingkungannya yang sangat membutuhkan untuk bisa merasakan sedikit kegembiraan. Mungkinkah semua itu sesuai dengan tuntunan Islam! Tentu saja tidak, karena Allah SWT telah menegaskan dalam Q.S. Al-Isra’: 26-27, bahwasanya kita dilarang keras untuk menghambur-hamburkan harta secara boros/komsumtif, sedangkan orang-orang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan-Nya.Dan seharusnya yang tepat bagaimana kita mengisi Idul fitri dengan senantiasa bersikap “Istiqomah”. Yaitu dengan selalu berusaha untuk lurus menepati perintah Allah dan bertekad bulat untuk menjauhi segala yang dilarang oleh Agama. Karena bukankah sayang sekali yang kita lakukan selama ramadan perjuangan menempa ibadah kalau sampai tidak ada efek positifnya di bulan Syawal. Sementara kita menengok kembali apa yang sudah kita tunaikan di bulan Ramadan. Selama bulan Ramadan kita telah berusaha meningkatkan keimanan dan ibadah. Kita telah mampu menaklukkan rasa lapar, menahan haus dan berbagai larangan yang akan membatalkan ibadah puasa bahkan bisa menghilangkan pahala ibadah puasa. Selama bulan puasa kita berlomba-lomba meningkatkan amal ibadah , baik secara kualitas maupun kuantitas. Termasuk kita juga telah berjuang keras untuk bisa memperoleh malam Lailatuh Qodar. Semua itu telah kita usahakan dengan keras dan keihlasan dalam rangka untuk meraih keridloan dan janji Allah SWT . Namun apakah semua prestasi gemilang dalam ibadah ramadan itu hanya berhenti pada bulan Ramadan saja. Tentu saja kita tidak menghendaki itu terjadi dalam kehidupan kaum muslimin. Karena ketika kita memasuki bulan Syawal yang sebentar lagi akan kita rayakan nanti. Pada dasarnya bisa kita gambarkan bagai tanaman yang tampak tumbuh subur daunnya merata menghijau, maka itu sebagai pertanda bahwa amal perbuatan kita selama bulan Ramadan itu telah diterima Allah Taala. Dan ini harus tampak di dalam kita merayakan Idul Fitri itu. Sikap, tindakan/perbuatan kita harus tetap konsisten/Istiqomah dengan amaliah yang kita jalankan selama Ramadan. Tapi sebaliknya ketika pasca Ramadan, justru kita banyak melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam, maka ibaratnya tanaman kita itu menjadi layu serta daunnya menguning, maka hal itu menjadi isyarat bahwa ibadah kita tidak diterima Allah SWT.
Untuk itu marilah kita merefleksi diri dengan apa yang sudah kita lakukan kebiasaan-kebiasaan kita pada tahun-tahun sebelumnya pada saat merayakan Idul Fitri. Yang justru merusak makna/esensi Idul Fitri itu sendiri. Dan sebaliknya jelang Idul Fitri ini kita harus bertekad untuk bisa merayakan Idul Fitri itu dengan sikap hidup yang “Qonaah” (sederhana) dan “Istiqomah” (lurus berjalan yang diridloi Allah Taala). Selanjutnya marilah kita renungkan sejenak tentang apa sebenarnya makna bulan Syawal, sehingga bulan ini diberi nama Syawal yang berarti :”berkembang/tumbuh/peningkatan”. Tentu saja jawabnya, apabila di bulan Ramadan ini kita telah melaksanakan kewajiban serta kesunatan-kesunatan dengan sempurna, kemudian kita tingkatkan kebiasaan tersebut di bulan Syawal nanti. Maka itulah yang dimaksud dengan kita telah memasuki bulan Syawal secara hakiki. Namun bukan berarti kita merayakan Idul Fitri tanpa nuansa yang berbeda dengan hari yang lain. Tentu saja diperbolehkan selama sikap dan perbuatan kita tetap konsisten dengan tuntunan ajaran Islam. Dan yang sering dilupakan justru hakikat dari Idul Fitri itu tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan “Takbir” mengagungkan Asma Allah. Dengan melantunkan takbir, tahmid, dan tahlil sepanjang malam. Dan mengapa kita harus bertakbir secara terus menerus. Karena ini sebagai ungkapan rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Dan sekaligus sebagai penegas kita bahwa tidak selayaknya dalam merayakan Idul Fitri kita justru melakukan kesombongan, sikap hedonis, dan tindak kemaksiyatan yang dilaknati Allah SWT.
Zamroni, S.PdI
Guru PAIBP SMAN I Boja