JATENGPOS.CO.ID, – Memprihatinkan, ternyata berdasarkan study Most Littered Nation In the world 2016 minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Hal tersebut diungkapkan oleh Subekti Makdriani, Pustakawan Utama Perpus RI saat menjadi pembicara Safari Gerakan Nasional Gemar membaca Di Provinsi dan Kabupaten/kota tahun 2017, Pendopo Kabupaten Kendal, Tribunjateng (15/05/2017). Namun pemerintah tidak tinggal diam mensikapi hal ini, terbukti dalam Kurikulum 2013 Ditjen Dikdasmen, Kemdikbud telah meluncurkan adanya gerakan membaca di sekolah dengan istilah Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk menjawab kualitas kemampuan membaca peserta didik yang masih rendah dan utamanya untuk menginternalisasikan nilai-nilai budi pekerti melalui isi teks yang dibaca peserta didik.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah, akademis, penerbit, media massa, masyarakat, dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Secara umum tujuan dari GLS adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam gerakan literasi sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Adapun sasaran dari GLS adalah ekosistem sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
GLS merupakan gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya ada tiga tahap. Tahap ke-1 adalah pembiasaan membaca peserta didik yang dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca sebelum jam pelajaran untuk menumbuhkan minat terhadap bacaan dan kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi peserta didik. Tahap ke-2 adalah pengembangan minat baca untuk meningkatkan kemampuan literasi, yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengkaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara kreatif (verbal, tulisan, visual, dan digital) melalui kegiatan menanggapi bacaan (Anderson & Krathwol, 2001). Adapun tahap ke-3 yaitu pelaksanaan pembelajaran berbasis literasi. Dalam tahap ini ada tagihan yang sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran).
Untuk sekolah yang sudah membangun lingkungan fisik sekolah yang kaya literasi (perpustakaan sekolah, dan penyediaan koleksi teks cetak secara visual/digital yang mudah diakses) mungkin tidak akan mengalami kendala dalam pelaksanaan GLS karena semua sudah tersedia. Namun jika dilaksanakan berulang dengan referensi buku yang hanya “itu-itu saja” tentunya bisa mengakibatkan peserta didik menjadi bosan dan tidak berminat lagi untuk membaca. Oleh karena itu perlu cara yang asik untuk bisa menarik minat baca peserta didik.
Pada abad ke-21 ini, kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan erat dengan tuntutan ketrampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Salah satu cara yang sudah saya lakukan untuk mebuat GLS yang asik dengan memanfaatkan sarana TIK yang ada di sekolah yaitu dengan pengenalan Portal Rumah Belajar web. http://belajar.kemdikbu.go.id/ dari kemdikbud kepada peserta didik dengan menggunakan fitur karya bahasa dan sastra yang ada. Pelaksanaan GLS menjadi lebih asik karena siswa bisa mengakses cerpen maupun prosa melalui media digital yang ada. Keberhasilan program pembiasaan membaca antara lain ditentukan oleh akses terhadap buku, daya tarik buku, lingkungan yang kondusif, dorongan untuk membaca, waktu tertentu untuk membaca, dan kegiatan tindak lanjut. Semoga dengan adanya portal Rumah Belajar mampu membawa keasikan dan semakin menumbuhkan minat baca peserta didik dalam pelaksanaan GLS.
Dwi Setyowati Hilga, S.Pd
Guru DPIB SMK N 2 Wonosobo