Dewasa ini profesi guru tengah banyak disorot oleh masyarakat kita dibanding profesi lainnya. Definisi tentang guru telah banyak dirumuskan oleh para ahli. Salah satunya menurut Suparlan (2005 :12) yang menyebutkan bahwa guru adalah orang yang tugasnya terkait dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam semua aspeknya, baik spiritual, emosional, fisikal, intelektual, maupun aspek-aspek lainnya. Di masyarakat luas, guru telah dianggap sebagai ujung tombak proses pendidikan. Sehingga baik atau buruk kualitas pendidikan di negeri ini selalu dikaitkan dengan keberadaan guru.
Perjalanan sejarah karier guru yang ada di sekitar kita mempunyai jalur yang bervariasi. Banyak guru sukses menjadi anggota wakil rakyat, kepala dinas, bupati, gubernur, atau bahkan mungkin menduduki jabatan-jabatan lain yang lebih tinggi. Ada guru yang sejak mulai menjadi guru telah menunjukkan optimisme yang tinggi dalam berkarya kemudian berkembang menjadi guru inti, instruktur, hingga akhirnya dikirim belajar ke jenjang yang lebih tinggi bahkan tidak sedikit yang dikirim ke luar negeri. Sayangnya, banyak pula kenyataan di lapangan kita temui, guru-guru masih mengalami berbagai kendala dalam mengembangkan diri dan karirnya. Mereka mengajar sambil terpaksa melakukan pekerjaan lainnya untuk menutupi kebutuhan ekonomi. Mereka bahkan hampir tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka sendiri. Bagaimana guru bisa menyiapkan peserta didik menuju generasi milenial?
Sistem pendidikan masa depan bangsa Indonesia adalah pendidikan yang mengantarkan generasi masa kini menjadi generasi mileniaL. Generasi ini akan menjadi generasi penduduk warga dunia yang bersifat transkultural, namun harus tetap hidup dan berkembang dalam jati diri dan budaya Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Kebijakan yang diambil untuk Indonesia milenial secara dasar adalah kebijakan perubahan kurikulum 2013, elemen-elemen perubahan, dan implikasi perubahan kurikulum 2013 dalam sistem pembelajaran. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan perubahan kurikulum 2013 didasarkan pada tantangan internal dan eksternal yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam rangka menyiapkan generasi yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif.
Menjadi guru adalah tugas mulia. Mereka melakukan pekerjaannya sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Guru melakukannya tanpa paksaan dan tanpa tekanan rasa ketakutan. Apabila ada seorang guru yang melakukan tugasnya bukan karena rasa pengabdian tetapi karena keterpaksaan atau karena tekanan rasa ketakutan, maka guru itu sesungguhnya bukanlah seorang ‘guru’. Ia tidak akan dapat memberikan kontribusi bagi tujuan mulia pendidikan, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pengabdian seorang guru bukanlah hal yang mudah dilakukanbahkan kadang-kadang harus diikuti dengan pengorbanan besar. Banyak guru yang mengabdi di tempat-tempat yang terpencil di antara masyarakat yang masih terasing dari peradaban modern. Banyak guru yang mengabdi di daerah-daerah rawan konflik yang tentu saja dapat membahayakan keselamatan jiwa dan keluarganya. Ada juga demi pengabdiannya, banyak guru terpisah jauh dari keluarga karena harus tinggal di daerah-daerah yang sarana tranpsortasi dan komunikasinya masih sangat sulit. Banyak guru yang mengabdi tanpa terlalu memperhitungkan besaran gaji yang akan mereka terima. Kita tahu, masih banyak guru-guru non-PNS yang gajinya bahkan sangat jauh di bawah UMR (Upah Minimum Regional) buruh.
Lalu, jika pilihan hidup untuk mengabdi sebagai seorang guru bukanlah jalan yang mudah dan mulus untuk dilalui, mengapa hingga sekarang masih banyak orang-orang yang melakukannya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali memahami makna sebuah pengabdian. Pilihan hidup menjadi seorang guru apabila dilakukan dengan tulus ikhlas dan rasa cinta, maka akan membawa seseorang kepada kebahagiaan yang tentu tidak dapat dinilai dengan materi. Inilah modal terbesar yang akan membawa seseorang pada kesuksesan dalam menjalani profesi sebagai seorang guru. Apabila seorang “guru” tidak memiliki rasa pengabdian yang tulus di dalam dirinya, maka “guru” itu tidak akan dapat bertahan pada pekerjaannya, dan ia bukanlah seorang guru yang sebenarnya.
Modal dasar berupa rasa pengabdian yang tulus apabila ditambah dengan kompetensi yang wajib dimiliki seorang guru agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya akan membentuk guru yang kompeten dan profesionalime. Guru yang demikian itulah yang mampu mencetak generasi yang pandai, terampil dan inovatif untuk menyongsong Indonesia milenial didalam bidang manapun.
ASMURI, M.Pd.
Guru SMPN 1 Donorojo Kabupaten Pacitan