PEKALONGAN – Warga sekolah khususnya guru dan siswa ditengarai belum optimal mengembangkan kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Hal ini disebabkan antara lain oleh minimnya pemahaman warga sekolah terhadap pentingnya kemampuan literasi dalam kehidupan mereka. Selain itu, masih ada beberapa guru yang beranggapan bahwa GLS merupakan tugas guru mata pelajaran bahasa Indonesia saja. Padahal GLS membutuhkan partisipasi semua warga sekolah. Kesuksesan GLS dapat dicapai apabila masing-masing warga sekolah memiliki kapasitas yang memadai untuk melaksanakan GLS.
Minimnya penggunaan buku-buku di sekolah selain buku teks pelajaran juga menjadi penyebab lain kurang optimalnya kegiatan literasi sekolah. Kegiatan membaca di sekolah masih terbatas pada pembacaan buku teks pelajaran dan belum melibatkan jenis bacaan lain. Di samping itu, kelengkapan bahan bacaan di perpustakaan sekolah masih dipertanyakan. Namun, ketersediaan teks dapat diatasi oleh pihak sekolah, khususnya guru yang kreatif. Teks tidak hanya dari buku, tetapi juga bisa dari koran, majalah, atau bisa kita buat sendiri. Teks berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya semua orang bisa membuat teks, termasuk siswa. Ketika siswa menyusun teks, guru perlu melakukan bimbingan secara intensif.
Upaya membudayakan literasi di sekolah dapat dilakukan oleh semua guru. Semua guru, bukan hanya guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Guru dituntut menjadi motivator kegiatan literasi di sekolah, terutama bagi siswa. Guru seharusnya dapat menjadi teladan yang baik bagi siswanya. Saat guru meminta siswa membaca, guru pun juga perlu membaca untuk memberi contoh yang baik.
Mengembangkan budaya literasi di lingkungan sekolah memang tidak mudah, tetapi bukan berarti kita diam dan tidak melakukan apa-apa. Budaya literasi di sekolah bisa dikembangkan dengan berbagai kegiatan menarik yang bisa membuat guru dan siswa terlibat langsung di dalamnya. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Indonesia terdapat materi pembelajaran tentang poster. Setelah memberikan materi tentang poster, guru memberi tugas kepada siswa untuk membuat poster dengan tema membaca.
Dengan kemajuan teknologi digital, guru dan siswa dapat melakukan kegiatan pemotretan pada saat kegiatan pembelajaran. Guru dan siswa mencari objek untuk dijadikan model dalam poster. Misalnya, foto kegiatan siswa yang sedang serius membaca di perpustakaan dijadikan poster dengan tulisan” Aku Juara karena Membaca”. Atau foto siswa yang sedang membaca di tangga sekolah dibuatkan poster dengan tulisan “Membaca dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja”. Model poster tidak harus siswa, guru pun bisa. Misalnya, foto kegiatan guru yang sedang asyik dengan laptopnya dijadikan poster dengan tulisan “Menjadi Pendidik Kreatif di Era Digital.” Banyak kata-kata motivasi membaca yang bisa kita tulis sebagai poster kampanye membaca. Guna menarik minat baca, poster tersebut di lengkapi dengan dekorasi dan ornamen yang menarik agar terlihat indah dan kreatif.
Hasilnya, aksi siswa dan guru menjadi model poster kampanye membaca dipajang di setiap sudut sekolah. Hal ini juga dapat memperlihatkan jati diri dalam kegiatan nyata GLS. Kita tidak perlu lagi melihat poster wajah orang-orang asing dari negara lain menjadi model kampanye membaca di negeri kita Indonesia. Kini yang terlihat dan terpampang adalah wajah-wajah ceria siswa-siswi dan guru-guru kita yang sedang membaca atau menulis dalam kegiatan GLS. Dengan demikian, tujuan pembelajaran tentang poster dan kampanye literasi tercapai sekaligus.
Tanpa mampu memvariasikan proses pembelajaran di kelas jangan mimpi untuk meningkatkan kemampuan siswa. Memvariasikan proses pembelajaran banyak caranya yang salah satunya memanfaatkan IT untuk menguatkan kemampuan literasi siswa.
Margining Utami, S.Pd.
SMP N 2 Pekalongan