SEMARANG – “Pak, gimana membuat kerah baju ini ?”celoteh salah satu anak siswa di SLB Negeri , Kab.Semarang.”Lo, tadi bapak kan sudah mengajarkan? ”tertawa sang guru pada mereka siswa SLB golongan C, tidak ada kata marah , letih di raut wajah guru ini. Golongan C adalah golongan tuna grahita, mereka yang keterbelakangan mental atau IQ mereka rendah. Hambatan yang mereka alami diantaranya apa yang sudah diajarkan sehari sebelumnya mereka sulit mengingat kembali,esok hari pasti lupa. Kadang tidak sampai berganti hari sesaat setelah mereka disampaikan materi hari itu ,mereka pun akan sulit mengingat lagi.
Kaum difabel adalah orang yang memiliki keterbatasan secara fisik, mental, sensorik dan emosional untuk kegiatan sehari-hari secara normal atau layak. Konsep difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan istilah different abilities people (orang dengan kemampuan yang berbeda). Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk membangun kembali nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula. Mereka juga berhak memperoleh pendidikan seperi orang normal lainnya. Dengan pemahaman baru itu diharapkan tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan. Sebaliknya, para difabel , sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya.
Pendidikan adalah hak bagi semua individu termasuk kelompok minoritas. Sesuai dengan amanah UU No 8 Tahun 2016 maka seluruh lembaga pendidikan diharapkan dapat melayani penyandang disabilitis dan memenuhi hak untuk memperoleh aksesibilitas yang setara dengan masyarakat lainnya. Dukungan layanan dan aksessibilitas bukanlah praktik yang mudah. Para Pendidik banyak menemukan tantangan bagi penyandang disabilitas. Seperti yang disampaikan di awal tulisan ini, para pahlawan bangsa ini mereka adalah pendidik yang memiliki keterbatasan secara fisik. Mereka memberikan ilmu, mendidik siswanya dengan setulus hati. Bahkan karena sudah dilindungi oleh UU No 8 Tahun 2016, penyandang difabel memiliki kesempatan yang sama dalam berinteraksi di masyarakat, bernegara, bebas mengungkapkan pendapatn tanpa ada rasa takut dicibir, direndahkan maupun mengalami kekerasan fisik .
Mendidik difabel bukanlah hal mudah apalagi yang terjadi di lapangan baik siswa maupun guru mengalami hal yang sama, penyandang disabilitas juga. Terciptanya komunikasi yang baik antara peserta didik dengan pendidik itulah kunci utama keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Berbagai macam teknik pembelajaran, media digunakan untuk memudahkan anak untuk bisa memahami apa yang disampaikan .
Terkadang Pendidik difabel mengalami hal yang tidak menyenangkan .”Apakah bisa kamu bisa menerapkan teknik pembelajaran ini pada siswamu, sedang kondisimu seperti itu?” ujaran seperti itu kerap didengar. Namun demikian, dengan minat yang kuat, kreatifitas dan ketekunan tinggi mampu menerapkan pembelajaran yang baik.
Untuk mengembangkan profesionalisme, pendidik difabel ini mempunyai kegiatan Perkumpulan Guru Penyandang Disabilitas. Hal-hal yang mereka alami di masyarakat, kendala pada saat mereka melaksanakan tugas, peningkatan karier, mereka diskusikan secara bergantian. Mereka tetap bersemangat untuk peningkatan kinerja. Saling asah asih modal mereka untuk tujuan mulia mencerdaskan anak bangsa apapun kondisi mereka.
Sekali lagi yang mereka, kaum difabel harapkan adalah pengakuan dari masyarakat bahwa mereka juga mampu mengembangkan bakat, kemampuan layaknya seperti manusia normal pada umumnya. Mereka tidak minta dikasihani apalagi selalu dibantu apapun yang mereka kerjakan. Bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk berkompetisi dengan lainnya, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun bidang lainnya.
Rosanna
SMPN 36 Semarang