JATENGPOS.CO.ID, – Pelajaran Sejarah sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolah dirasakan kering dan membosankan.
Menurut cara pandang Paedagogy Kritis, pembelajaran Sejarah seperti ini dianggap lebih banyak memenuhi hasrat rezim yang berkuasa, kelompok elit, dan pengembang kurikulum, dan lain sebagainya sehingga mengabaikan peran siswa sebagai pelaku sejarah (Anggara, 2007:101). Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun, sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah di sekolah.
Salah satu faktor terpinggirkannya pelajaran sejarah adalah keengganan peserta didik untuk membaca. Sejarah sebagai sebuah ilmu maupun perantara transfer nilai dari generasi ke generasi erat kaitannya dengan budaya literasi. Literasi sejarah merupakan suatu kemampuan yang penting dimiliki peserta didik di dalam pembelajaran Sejarah. Dalam konteks kekinian, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Bukhori (2005) mengemukakan “Literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat”. Maka literasi sejarah dapat diartikan sebagai suatu sikap literat terhadap sejarah berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang dikembangkan oleh peserta didik. Literasi sejarah tidak menjadikan peserta didik hanya melek akan sejarah tetapi juga memiliki sikap kritis dan peka terhadap sejarah.
Salah satu upaya untuk membuat literasi dalam pembelajaran sejarah lebih menarik adalah dengan memasukkan unsur sejarah lokal dalam proses pembelajaran sejarah di kelas. Selama ini, masyarakat menganggap bahwa daerah Boja merupakan wilayah pinggiran yang kurang memiliki makna dalam sejarah nasional. Hal tersebut dikarenakan tidak terdapat peninggalan monumental di wilayah tersebut. Dalam observasi yang dilakukan penulis, didapatkan bahwa wilayah Boja dan sekitarnya mempunyai bangunan-bangunan peninggalan zaman Hindu Budha yang menunjukkan kebesaran dan kekayaan ide dari nenek moyang. Meskipun tidak bersifat monumental namun bangunan-bangunan berupa lingga dan yoni dalam berbagai ukuran tersebut tersebar cukup banyak di beberapa tempat. Sebagai salah satu kawasan pinggiran dari Kerajaan Mataram kuno, wilayah kecamatan Boja tentu mendapat pengaruh – pengaruh pada kekuasan bercorak Hindu-Budha tersebut. Seperti adanya bangunan candi dan diketemukannya arca serta Yoni yang melambangkan kejayaan kerajaan Hindu-Budha pada saat itu, yaitu Kerajaan Mataram yang terletak di poros Kedu-Prambanan. Peninggalan yang paling banyak ditemukan adalah peninggalan berupa Lingga-Yoni. Dalam mitologi agama Hindu, Lingga-Yoni merupakan perlambangan Dewa Syiwa dan istrinya Dewi Uma. Lingga-Yoni disimbolkan sebagai penyatuan Syiwa dan istrinya yang akan melahirkan kesuburan.
Itulah sebabnya setiap daerah yang terdapat peninggalan berupa Lingga dan Yoni disimpulkan sebagai salah satu wilayah dari kerajaan Hindu di masa lalu yang dianggap subur. Sayangnya, peninggalan-peninggalan tersebut kurang terawat karena kesadaran masyarakat akan makna sejarah dari peninggalan-peninggalan tersebut rendah. Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa situs sejarah sangat mendukung pengembangan literasi sejarah karena keberadaannya mampu menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam proses pembelajaran, terutama yang digunakan sebagai sumber pembelajaran khususnya pada kompetensi dasar “Pengaruh Perkembangan Agama dan Kebudayaan Hindu-Buddha terhadap Masyarakat di Berbagai Daerah di Indonesia”.
Di pembelajaran sejarah, guru dapat memanfaatkan peninggalan Lingga Yoni dengan memasukkannya dalam model pembelajaran yang bersifat konstruktif. Guru dapat mengajak peserta didik untuk melakukan studi wisata dan bersama-sama mendokumentasikan peninggalan Lingga Yoni. Sebelum mengunjungi peninggalan Lingga Yoni, peserta didik diberikan materi yang akan berfungsi sebagai modal peserta didik dalam memahami asal mula peninggalan tersebut. Selain itu, peserta didik juga akan mengetahui sejarah daerah tempat tinggalnya dan mengenal lingkungannya sebagai tempat bersejarah.
Adapun keunggulan pembelajaran dalam mengembangkan literasi sejarah dengan memanfaatkan peninggalan Lingga Yoni di wilayah Boja yakni pemahaman peserta didik dibangun diatas pengetahuan berdasarkan bukti sejarah yang akurat. Dalam kesempatan tersebut tugas peserta didik seperti seorang peneliti sejarah meskipun baru tahap perkenalan. Mereka dapat mengumpulkan, mengolah, menginterpretasikan, dan menyimpulkan berbagai informasi tentang peninggalan tersebut dalam narasi sederhana. Hal inilah yang sebenarnya ingin diraih dalam konsep literasi sejarah. Peserta didik mampu mengembangkan kemampuannya dalam menggali informasi dan menuliskannya kembali sesuai dengan fakta yang dipahaminya. Guru hanya bertindak sebagai informan dan pembimbing aktivitas peserta didik.
Retno Suminar, S.Pd
(Guru SMA Negeri 1 Boja)