JATENGPOS.CO.ID, – Tantangan bangsa Indonesia di era globalisasi sangat berat. Agar dapat berkompetisi dengan bangsa lain, kita harus memiliki keunggulan-keunggulan yang berdaya saing tinggi di pasar bebas. Namun, terjadinya krisis multidimensi menyebabkan jati diri dan budaya bangsa kian pudar. Degradasi moral spiritual, etos kerja yang rendah, kreativitas yang stagnan, dan jiwa kemandirian yang mengerdil semakin melemahkan daya saing bangsa kita.
Pendidikan yang diyakini sebagai senjata terbaik untuk mengubah nasib suatu bangsa harus segera dibenahi seiring gencarnya arus globalisasi. Kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan, baik kualitas proses maupun kualitas produk. Kualitas proses tercapai apabila proses pembelajaran berlangsung secara efektif dan bermakna. Sedangkan kualitas produk tercapai apabila siswa memiliki kompetensi atau life skill (kecakapan hidup) sesuai dengan tuntutan kehidupan dan dunia kerja.
Saat ini banyak lulusan pendidikan yang tidak mampu mengisi lowongan pekerjaan karena kompetensi yang dimiliki tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Rendahnya kemandirian dan kreativitas juga membuat mereka tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Sementara penyerapan tenaga kerja oleh instansi pemerintah dan pihak swasta sangat terbatas. Hal ini tentu akan meningkatkan jumlah pengangguran setiap tahunnya.
Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan konsep edu-entrepreneurship. Istilah edu-entrepreneurship berasal dari gabungan kata edukasi dan entrepreneurship. Konsep ini memiliki makna jiwa kewirausahaan yang disertai misi pendidikan. Edu-entrepreneurship bertujuan untuk menumbuhkan karakter kemandirian dan kewirausahaan pada diri siswa.
Langkah pertama untuk mengimplementasikan konsep edu-entrepreneurship adalah dengan membenahi kurikulum sekolah untuk semua jenjang pendidikan. Siswa harus diperkenalkan konsep edu-entrepreneurship sedini mungkin agar mindset (pola pikir) menciptakan peluang kerja, bukan sekadar mencari kerja, tertanam kuat dalam benak mereka. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga perlu membuat kerangka pengembangan kewirausahaan bagi kepala sekolah dan guru karena mereka adalah agen perubahan yang akan mendidik dan membekali para siswa.
Kurikulum berbasis edu-entrepreneurship ditandai dengan proses pendidikan yang menerapkan prinsip dan metodologi ke arah pembentukan kecakapan hidup. Konsep ini dapat diintegrasikan dalam semua mata pelajaran, bukan hanya Prakarya saja, dan perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Pengintegrasian dapat melalui materi, metode, atau penilaian. Kegiatan ekstrakurikuler, seperti Pramuka, Karya Ilmiah Remaja, atau Tata Boga juga memegang peranan yang penting sebagai media pembinaan karakter siswa termasuk karakter wirausaha, yaitu mandiri, jujur, kreatif, inovatif, kerja keras, tanggung jawab, dan kerja sama.
Konsep edu-entrepreneurship juga sejalan dengan misi pemerintah untuk mengembangkan budaya entrepreneur dan menjadikan dunia usaha sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Salah satu upaya pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menggalakkan gairah kewirausahaan di kalangan siswa adalah dengan mengadakan Festival Inovasi dan Kewirausahaan (FIKSI). FIKSI merupakan ajang perlombaan di tingkat Sekolah Menengah Atas yang terdiri dari dua kategori, yaitu kategori Gagasan Wirausaha dan Rintisan Wirausaha. Bukan tidak mungkin perlombaan serupa juga akan digelar untuk jenjang di bawahnya.
Dengan diterapkannya konsep edu-entrepreneurship diharapkan dapat melejitkan jiwa kemandirian siswa serta memotivasi siswa agar senantiasa kreatif dan inovatif dalam menciptakan sesuatu, termasuk peluang kerja bagi masyarakat. Diharapkan pula karakter kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan para entrepreneur baru yang handal, tangguh, dan mandiri.
Dwi Susanti, S.Pd.
Guru SMPN 1 Tirtomoyo Wonogiri