JATENGPOS.CO.ID, SOLO – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sekolah memerlukan dukungan dari pemerintah daerah untuk mempersiapkan sekaligus menyelenggarakan pembelajaran tatap muka (PTM).
“Untuk di Solo kami mengapresiasi perhatian dari Pak Wali, DPRD, dan Satgas COVID-19. Dimulainya pembelajaran tatap muka merupakan bentuk perhatian pemerintah daerah,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti saat meninjau kegiatan pembelajaran tatap muka di SMPN 4 Surakarta, Selasa.
Ia mengatakan ada lima siap dalam membuka sekolah selama masa pandemi COVID-19 ini, yaitu daerahnya siap, sekolah, guru, orang tua, dan siswa juga siap. Jika ada satu saja di antara lima ini tidak siap, pembukaan sekolah harus ditunda.
“Apalagi, ketika tidak siapnya berada pada ranah anak. Terkait hal ini salah satu caranya adalah mulai mengajarkan cara menggunakan masker pada PJJ (pembelajaran jarak jauh), mulai 15 menit, kemudian ditambah lagi 5 menit. Kalau sudah tatap muka, paling tidak dia harus tiga jam bertahan dengan masker tanpa dibuka,” katanya.
Ia berharap ke depan sekolah yang sudah membuka pembelajaran tatap muka bisa menularkan ke sekolah-sekolah lain yang hingga saat ini belum melaksanakannya. Selanjutnya, sekolah lain yang belum juga bisa merujuk ke sekolah yang saat ini sudah mulai melakukan PTM.
“Persiapan ini penting karena pandeminya panjang dan pada jangka panjang nanti mau tidak mau di setiap zona apapun, orang akan ribut buka sekolah terutama karena desakan dari orang tua. Anak-anak juga banyak yang mengalami gangguan kesehatan mental karena terlalu lama di rumah,” katanya.
Terkait kunjungan tersebut, masih ada beberapa poin yang harus dibenahi oleh pihak sekolah, salah satunya jaga jarak antarguru tidak sampai satu meter. Selain itu, ia juga belum melihat kesiapan perpustakaan dan mushala sekolah untuk siswa.
“Nanti, setelah kunjungan ini kami akan bersurat ke pihak sekolah, mana yang perlu ditambahkan. Saya melihat di sini nanti akan lebih mudah diperbaiki. Ada upaya mengubahnya karena didukung oleh daerah,” katanya.
Ia juga meminta agar sekolah tidak terlalu khawatir jika anak tidak memenuhi kompetensi mengingat kondisi serupa tidak hanya terjadi di Indonesia. Menurut dia, yang harus diperhatikan adalah hak hidup anak, hak sehat, barulah hak pendidikan.
“Yang penting dia tetap hidup dan sehat, ketertinggalan bisa dikejar. Kalau memaksakan dan tertular, korban terlalu banyak. Indonesia sudah cukup tinggi angka kematian pada anak, yaitu 2,3 persen dari total anak yang terjangkit atau tertinggi se-Asia Pasifik. Di Eropa saja hanya 0,03 persen kematian anak,” katanya. (fid/ant)