SEMARANG– Saat ini dunia pendidikan menjadi pusat pembicaraan dan sorotan dari masyarakat. Pembicaraan dan sorotan masyrakat tersebut bukan dikarenakan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa, akan tetapi disebabkan oleh adanya perilaku oknum siswa yang memprihatinkan dan semestinya tidak perlu terjadi, yaitu berupa kekerasan.
Kekerasan yang dilakukan siswa tidak lagi bisa dikatakan sebagai suatu kenakalan siswa yang masih bisa ditolerir, akan tetapi sudah menjurus pada suatu perilaku jahat atau kriminal dan berdampak sangat merugikan dan meresahkan masyarakat. Misalnya kekerasan berupa pembunuhan guru oleh siswa di Kabupaten Sampang, pencurian yang disertai dengan kekerasan (pembunuhan) terhadap sopir taxi online di Semarang, dan yang lainnya.
Siswa atau anak (peserta didik) adalah merupakan aset yang dimiliki oleh suatu bangsa, karena masa depan bangsa itu ada pada tangan-tangan mereka sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Sehingga berhasil atau tidaknya cita-cita bangsa akan ditentukan dengan bagaimana kita mempersiapkan anak kita dari sekarang ini dan hal ini menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah,masyarakat, dan pemerintah.
Sarana untuk membekali atau mempersiapkan anak sebagai generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang utama adalah dengan bekal pendidikan, karena di dalam pendidikan itu terjadi suatu proses pembelajaran yang dapat mentransfer nilai sehinggga siswa atau anak didik akan mempunyai sifat, sikap, dan perilaku yang baik.
Tujuan pendidikan di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis juga bertanggung jawab. Dengan memperhatikan tujuan pendidikan ini, maka sangat ironis sekali apabila ada di antara siswa melakukan kekerasan.
Perilaku kekerasan yang ada pada siswa itu tidak mungkin terjadi begitu saja dengan tiba-tiba, melainkan didapat juga dari hasil belajar baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, dunia pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan secara dini melalui program “membangun budaya anti-kekerasaan” dengan menanamkan kepada siswa budaya damai, sikap toleransi, empati, dan sebagainya.
Sekolah sebagai tempat dilaksanakan kegiatan pembelajaran siswa mempunyai peranan penting dalam membentuk perilaku anti-kekerasan, karena proses belajar di sekolah pada hakikatnya ditujukan untuk menciptakan perubahan pada diri siswa melalui serangkaian pengalaman yang didapatkannya dalam proses pembelajaran baik secara formal, maupun non-formal. Proses pembelajaran tersebut sangat strategis untuk mengembangkan pembiasaan berbudaya damai di lingkungan sekolah.
Budaya anti-kekerasaan dapat diciptakan melalui lembaga sekolah. Menurut pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jogyakarta, Suyanto budaya anti-kekerasan dapat dilakukakan melalui beberapa cara. Antara lain: pertama, menciptakan iklim perdamaian yang kondusif di sekolah; kedua, keadaan sekolah yang bersih, rapi dan terjaga keamanannya akan membuat siswa dengan mudah membangun budaya anti-kekerasan; ketiga, penanaman nilai-nilai yang terkait dengan persoalan moral, empati, sopan santun,serta tolong-menolong dapat menjadi tolok ukur bagi munculnya kehidupan harmonis di antara siswa.
Menanamkan budaya anti-kekerasan juga bisa dilakukan di lingkungan keluarga, yaitu dengan diciptakannya suasana hubungan yang harmonis di antara anggota keluarga dan dalam hal ini peran orang tua sangat menentukan. Sebagai misal apabila ada anak yang tidak menurut kepada orang tua jangan kemudian orang tua memberi hukuman dengan kekerasan baik secara phisik maupun non-phisik, seperti menjewer,menampar,memukul atau membentak. Akan tetapi hendaknya dilakukan dengan pendekatan kasih sayang yang jauh dari kesan kekerasan.
Demikian juga hubungan di antara anak harus ditanamkan adanya sikap kasih sayang, rasa saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan, toleransi, dan bermusyawarah dalam menyelesaikan permasalahaan yang terjadi. Cara-cara demikian ini akan dapat menjauhkan terjadinya kekerasan dalam keluarga.
Peran masyarakat pun tidak kalah pentingnya dalam membentuk budaya anti-kekerasan. Hal ini bisa terwujud apabila di dalam masyarakat itu anggota masyarakatnya patuh pada norma hukum,saling menghargai dan menghormati perbedaan, menerima dan mengakui keberagaman, adanya kebersamaan dan kegotongroyongan, dan menyelesaiakan masalah-masalah yang timbul dengan demokratis, musyawarah dan bijak.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam kurikulum pendidikan juga menjadi kunci dalam membangun budaya anti-kekerasan, yaitu dengan tidak membuat kebijakan dalam pendidikan yang hanya mengacu pada dicapainya kecerdasan intelektual di mana siswa hanya dituntut untuk memahami dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi semata, akan tetapi harus juga dibarengi dengan dicapainya kecerdasan spiritual yaitu dengan dibuatnya kurikulum pendidikan yang lebih menanamkan nilai-nilai keimanan,akhlak mulia,budi pekerti, dan moral.
Dengan demikian dalam membangun budaya anti-kekerasan pada siswa diperlukan adanya komitmen dan sinergitas pemangku kepentingan, yaitu antara pihak sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Indah Kusnowati S.Pd
Guru PPKn SMA N 15 Semarang