Pendekatan whole language merupakan salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang mulai diperkenalkan di Inonesia. Keampuhan pendekatan ini telah banyak dibuktikan oleh beberapa negara yang menggunakannya. Kita semua menyadari bahwa bahasa itu penting dalam kehiupan. Dengan bahasa pula kita dapat memahami dan mengetahui apa yang terjadi di dunia dan lingkungan sekitar kita. Bahasa bukanlah suatu bakat yang dimiliki oleh sebagian orang saja, tetapi setiap orang memiliki kemampuan berbahasa.
Anak-anak telah belajar bahasa dan menguasai bahasa lisan dengan baik jauh sebelum mereka sekolah. Sering kita jumpai anak yang pandai bercerita dengan susunan kalimat yang benar sehingga orang yang mendengarkannya dapat memahami jalan cerita tersebut, ternyata anak tersebut belum bersekolah. Dalam hal ini, anak-anak tidak mempunyai kesulitan dalam belajar bahasa secara nonformal di rumah. Namun, ketika anak mulai sekolah dan mendapat pelajaran bahasa, keadaan menjadi terbalik. Bahasa yang semula merupakan hal yang mudah dan mengasyikkan berubah menjadi pelajaran yang sulit (Goodman, 1986).
Sering kita mendengar orang tua mengeluh tentang anaknya yang mendapat nilai kurang untuk pelajaran bahasa Indonesia, sementara nilai mata pelajaran lain, Matematika misalnya, mendapat nilai yang cukup baik.
Pelajaran bahasa yang seharusnya menyenangkan dan mengasyikkan ternyata jauh dari harapan. Ini disebabkan karena di sekolah, bahasa diajarkan secara terpisah-pisah. Pada umumnya guru mengajarkan keterampilan berbahasa dan komponen bahasa secara terpisah. Membaca diajarkan pada jam yang berbeda dengan menulis. Demikian pula pelajaran tentang struktur bahasa dan kosa kata atau kesusastraan. Tidak jarang kita temui siswa yang ditugasi membuat kalimat-kalimat lepas untuk melatih pola kalimat tertentu. Dengan sistem mengajar seperti ini, siswa tidak menapatkan pelajaran bahasa yang utuh, seperti yang mereka pelajari sebelum mereka sekolah. Dengan mengajarkan bahasa secara terpisah-pisah, sangat sulit untuk memotivasi siswa belajar bahasa karena siswa melihat apa yang dipelajarinya tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka.
Pendekatan whole language didasari oleh paham construktivism yang menyatakan bahwa siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh (whole) dan terpadu (integrated) (Roberts 1996). Anak termotivasi untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang dipelajarinya itu diperlukan oleh mereka. Orang dewasa, dalam hal ini guru, berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang menunjang untuk siswa agar mereka dapat belajar dengan baik. Fungsi guru dalam kelas whole language berubah dan desiminator informasi menjadi fasilitator (Lamme dan Hysmith, 1993)
Komponen whole language antara lain: (1) Reading Alaund. Adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita dan membacakannya dengan suara keras dan intonasi yang baik, sehingga setiap siswa dapat mendengarkan dan menikmati ceritanya. Manfaat yang didapat dari reading alound, antara lain meningkatkan keterampilan menyimak, memperkaya kosa kata, membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan yang tiak kalah penting adalah menumbuhkan minat baca pada siswa. (2) Jurnal Writing. Merupakan sarana yang aman bagi siswa untuk mengungkapkan perasaannya, menceritakan kejadian di sekitarnya, membeberkan hasil belajarnya, dan menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan. Manfaat yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis jurnal ini anatara lain: Meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kemampuan membaca, menumbuhkan keberanian menghadapi risiko, memberi kesempatan untuk membuat refleksi, memotivasi pengalaman dan perasaan pribadi, memberikan tempat yang aman untuk menulis, meningkatkan kemampuan berpikir dan meningkatkan kesadaran dan peraturan menulis.
Oleh: Siti Masfufah, S.Pd.
Guru SD 3 Karangmalang