JATENGPOS.CO.ID, – Mengapa harus melalui sastra? Ketika dunia pendidikan dinilai hanya memburu dan mementingkan ranah akademik semata, sehingga mengabaikan persoalan-persoalan moral dan keluhuran budi kalau pun ada penyampaiannya cenderung indoktrinatif dan perlu ada terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan pendidikan karakter sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psikososial peserta didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra. Melalui makalah ini penulis ingin menunjukan bahwa sastra bisa digunakan sebagai media penyampaian pendidikan karakter kepada peserta didik.
Karakter didefinisikan secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Karakter menurut Depdikbud adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Ada juga yang menyebutkan karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kualitas moral dan mental, sementara yang lainnya menyebutkan karakter sebagai penilaian subjektif terhadap kualitas mental saja, sehingga upaya merubah atau membentuk karakter hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual seseorang (encyclopedia.thefreedictionary.com, 2004). Sedangkan menurut Megawangi (2003), kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotong-royong; (6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut.
Menurut Confusius seorang filsuf terkenal Cina dalam Megawangi (2003) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi. Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan – baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Sebagaimana menurut Piaget dalam Pateda (1988) dalam usahanya mencari hubungan antara bahasa dan pikiran anak, mengemukakan pendapat bahwa perkembangan bahasa dan penggunaannya oleh anak tercermin dalam perkembangan mentalnya. Persepsi anak dan lingkungan sosialnya memegang peranan penting dalam kehidupan anak. Lingkungan sekitar yang memprogram bagaiman selanjutnya sang anak.
Apakah sastra itu? Wellek (dalam Prapodo 2003:35) mengemukakan tiga definisi: pertama, seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak, definisi ini tidak lengkap karena tidak meliputi karya sastra yang tidak tertulis, atau karya sastra lisan. Di sini disebut sastra hanya karena pertama naskah sebagai sumber. Definisi kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal, dari sudut isi dan bentuknya. Jadi, di sini definisi bercampur dengan penilaian, dan penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetikanya saja atau segi intelektualnya. Dengan demikian, karya-karya lain yang “tidak terkenal” tidak dapat masuk dalam definisi ini.
Yang termasuk dalam kategori sastra adalah cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter.
Selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan. Penciptaannya yang dilakukan bersama-sama dan saling berjalinan seperti terjadi dalam kehidupan kita sendiri.
Lebih jauh dari itu sastra dalam kaitan dengan pendidikan karakter, yaitu sastra sebagai media pembentuk watak moral peserta didik, dengan sastra kita bisa mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan moral baik secara implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, kita bisa membentuk karakter peserta didik, sastra mampu memainkan perannya. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersaman, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita terapkan kepada peserta didik melalui sastra
Berbagai upaya yang bisa dilakukan pendidik melalui pembelajaran sastra yang disertakan pula pendidikan karakter di dalam penyampaiannya, baik melalui puisi, lagu, cerpen, novel, drama, dan cerita rakyat nampaknya akan mampu membawa pendidikan karakter untuk masuk ke dalam jiwa peserta didik dan secara umum dan akan merubah karakter bangsa kita menuju yang lebih baik.
Jumadi, S.Pd.
SMKN 2 Sukoharjo